Wednesday, November 12, 2008

Sungguh Amat Baik

"Sungguh amat baik". Itulah "akreditasi" yang diberikan Tuhan ketika selesai menciptakan manusia. Beberapa hari yang lalu ketika saya membaca Kejadian 1, seolah perhatian saya "tertawan" oleh frase "sungguh amat baik" yang diucapkan Allah dia ayat 31. Waktu merenungkan frase ini muncul dua pertanyaan dalam benak saya. Pertama, apa yang menjadikan manusia itu sungguh amat baik? Kedua, apakah hari ini Tuhan masih melihat manusia dengan "akreditasi" yang sama, "sungguh amat baik"?

Dari pertanyaan pertama saya menemukan jawaban bahwa yang membuat manusia itu sungguh amat baik gambar dan rupa Allah yang ada dalam diri manusia. Dari seluruh ciptaan yang lain hanya manusialah yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ketika Allah melihat gambar dan rupanya dalam diri manusia, Ia melihatnya begitu sempurna maka Dia mengatakan sungguh amat baik. Tanpa gambar dan rupa Allah di dalam diri manusia, pada dasarnya manusia tidak layak menyandang predikat "sungguh amat baik", karena manusia diciptakan dari debu tanah. Sesuatu yang tidak berguna dan tidak dianggap.

Perenungan dari pertanyaan pertama, sekaligus memberi jawaban atas pertanyaan kedua. Apakah hari ini manusia masih menyandang predikat "sungguh amat baik"? Dengan kata lain, apakah gambar dan rupa Allah masih ada di dalam diri manusia zaman ini? Bukankah manusia telah kehilangan kemuliaan (gambar dan rupa) Allah?

Saya mengajak kita mengamati bagaimana tingkah laku manusia di sekitar kita. Baru beberapa hari yang lalu perhatian seluruh masyarakat terfokus pada eksekusi terhadap "trio" pelaku bom Bali. Manusia membunuh sesamanya atas nama agama. Akhir-akhir ini hampir semua berita televisi tidak terlewatkan memberitakan peristiwa mutilasi. Demi ego dan kebencian, manusia tak segan-segan menghabisi nyawa sesamanya. Belum lagi kerusakan moral yang semakin merajalela.

Masihkah ada gambar dan rupa Allah dalam diri manusia di tengah zaman yang semakin bengkok ini? Masih dapat diperbaharuikah gambar dan rupa Allah yang sudah rusak itu? Jawabanya adalah masih, kalau ada KASIH. Karena kasih Allah mau berdamai kembali dengan manusia yang tidak layak diampuni. Karena kasih Ia rela mengorbankan dirinya manusia yang tidak menghargai kekudusan gambar dan rupa Allah yang ada di dalam dirinya. Semuanya karena kasih. Andai ada kasih, manusia tidak mungkin membunuh sesamanya demi apa pun, termasuk demi agama. Andai ada kasih manusia tidak akan tega menghabisi nyawa sesamanya. Andai ada kasih manusia tidak akan menghakimi sesamanya hanya karena perbedaan agama, suku, ras, dsb. Andai ada kasih manusia tidak akan mementingkan egonya, tetapi berkorban bagi orang. Andai ada kasih ... Andai ada kasih ... !!!

Thursday, November 6, 2008

SEBUAH PENANTIAN

Nats: Kis. 1:9-11

Saudara-saudara, sadar atau tidak sadar, terima atau tidak terima, setuju atau tidak setuju, saya mau katakan bahwa, ”hidup adalah sebuah rangkaian penantian” dan semua penantian itu adalah sebuah kesia-siaan. Saya akan mulai ketika kita dalam kandungan kita sedang menanti untuk lahir ke bumi. Setelah lahir kita menanti untuk bertumbuh (bisa merangkak, berdiri dan berjalan). Setelah itu kita menanti untuk sekolah dan kuliah. Waktu sekolah dan kuliah kita menanti untuk bisa bekerja. Waktu bekerja kita menanti untuk punya pacar, menikah dan membentuk keluarga. Setelah menikah kita menanti punya anak dan membesarkan mereka. Dan sampai akhirnya ketika kita menjadi tua, kita menanti untuk kembali kepada debu tanah di mana kita berasal.

Seluruh penantian ini adalah sia-sia, karena penantian demi penantian akan berlalu begitu saja dan pada akhirnya kita akan mengakhiri penantian hidup kita dengan kematian.

Lebih ironis lagi, Henri Nouwen pernah mengatakan bahwa hidup ini tidak lain adalah rangkaian pengalaman kehilangan. Ketika lahir kita kehilangan rasa aman berada dalam kandungan; ketika masuk sekolah kita kehilangan rasa aman tinggal di lingkungan keluarga; ketika memperoleh pekerjaan pertama, kita kehilangan kemerdekaan sebagai anak muda; ketika menikah kita kehilangan kegembiraan karena masih mempunyai banyak pilihan; ketika kita menjadi tua kita kehilangan ketampanan, kesehatan, kebebasan fisik; dan ketika kita mati, kita kehilangan segala-galanya.

Jadi bisa disimpulkan bahwa apa yang kita nantikan sebenarnya hanya membawa kehilangan. Maka sempurnalah kesia-siaan hidup manusia. Untuk itu tidak heran ketika Pengkhotbah memandang hidup ini secara pesimis dengan mengatakan, ”... segala sesuatu adalah sia-sia”.

Lalu bagaimana kemudian manusia menanggapi kenyataan bahwa hidup ini adalah sebuah penantian yang sia-sia?

1. Menikmati hidup sepuasnya.

Banyak orang yang berkata, mari kita nikmati hidup ini karena sebentar lagi hidup ini akan berlalu dengan sia-sia dan berakhir dengan kematian. Untuk itu selagi masih hidup, selagi ada kesempatan untuk menikmati hidup, marilah kita nikmati. Apakah dengan cara ini membuat penantian hidup kita menjadi lebih berarti? Jawabannya, tidak! Karena manusia ternyata tidak akan pernah puas dengan kenikmatan hidup ini. Pada akhirnya, kenikmatan hidup pun bagian dari penantian yang akan berlalu dengan sia-sia.


2. Menolak/melawan kenyataan bahwa hidup ini adalah penantian yang akan berlalu dengan sia-sia.

Ada orang yang menolak/melawannya dengan tidak mau jadi tua dengan berbagai cara. Mungkin bisa dengan mengubah penampilan atau yang lebih canggih dengan operasi plastik sehingga kelihatan tetap muda. Namun, itu pun tidak akan bertahan lama. Atau ada juga orang yang berusaha untuk hidup abadi, misalnya seperti yang kita lihat dalam film ”The Myth” dan ”Forbidden Kingdom”. Ini pun adalah usaha yang sia-sia, karena ternyata dalam film ”Forbidden Kingdom” ini orang yang telah mendapatkan hidup abadi bisa mati hanya dengan anak panah yang terbuat dari giok.

Dengan demikian semua usaha manusia dalam menanggapi kesia-siaan hidup manusia ini juga sia-sia. Maka semakin sempurnalah kesia-siaan hidup manusia.

Lalu bagaimana caranya supaya hidup yang merupakan rangkaian penantian ini tidak sia-sia? Karena hidup ini tidak bisa lepas dari penantian demi penantian, maka satu-satunya cara adalah mencari penantian yang tidak sia dan yang membuat hidup ini menjadi sebuah penantian yang berarti. Dan penantian itu adalah kedatangan Tuhan Yesus kembali. Kenaikan Tuhan Yesus sekaligus menciptakan sebuah penantian dalam hidup orang percaya, ”Yesus ini ... akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” kedatangan Tuhan Yesus kembali menjadi penantian yang berarti dan bernilai karena kedatangan Tuhan Yesus akan membawa kita kepada kekekalan atau hidup abadi yang sesungguhnya. Ini adalah satu berita baik, karena di tengah-tengah penantian hidup yang sia-sia ada satu penantian yang mengubah semuanya menjadi berarti dan bermakna. Namun, ada satu berita buruk, yaitu penantian ini adalah penantian dalam pengembaraan. Kita ibarat pengembara yang sedang menuju satu tujuan, yaitu hidup yang kekal. Dalam pengembaraan ini ada banyak tantangan, rintangan, bahkan penderitaan. Terkadang kita akan menempuh jalan berumput hijau, tetapi ada kalanya kita akan menempuh padang pasir yang tidak berair. Mungkin ini bisa membuat kita bergumul, berjuang, menderita dan bahkan bisa bosan.

Maka ada beberapa sikap yang muncul dalam menanggapi ketegangan antara kekekalan yang kita nantikan dengan kenyataan hidup kita yang masih dalam pengembaraan:

1. Pesimis belaka
Melihat begitu beratnya tantangan yang dihadapi dalam penantian atau dalam pengembaraan ini, kemudian ada orang-orang yang pesimis. Mereka melihat seolah-olah kuasa iblis tetap saja berkuasa dan bahkan kelihatanya menang atas orang-orang Kristen, sementara kedatangan Kristus yang terus dinanti itu tidak kunjung datang. Melihat hal ini ada orang-orang yang kemudian putus asa dan tidak mau bertahan/berjuang dalam penantian atau pengembaraan mereka. Mereka meninggalkan iman mereka dan larut dalam kehidupan dunia yang sia-sia. Mereka memandang penantian mereka secara pesimis.

2. Optimis belaka
Selain sikap pesimis belaka, ada sikap yang kelihatannya positif tetapi juga terlalu ekstrim, yaitu sikap optimis belaka. Kalau sikap yang pertama tadi, mereka terbuai oleh keadaan hidup masa kini, sebaliknya sikap kedua ini, mereka hanya terobsesi oleh kehidupan yang akan datang. Mereka lupa bahwa sekalipun memiliki satu masa depan yang indah, tetapi kenyataannya mereka sedang berada dalam pengembaraan. Sehingga mereka mengabaikan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pengembara. Mereka juga lupa bahwa di sini masih ada tantangan yang harus mereka hadapi. Maka pada akhirnya ketika mereka tersadar akan keadaan mereka, akibatnya akan sama dengan yang pertama tadi, yaitu mereka akan menjadi kecewa dan juga menjadi putus asa.

3. Optimisme yang realistis
Sikap ketiga, dan yang seharusnya menjadi sikap kita adalah optimisme yang realistis. Artinya, kita tahu dan yakin bahwa kita memiliki pengharapan, yaitu kedatangan Tuhan Yesus kedua kali yang membawa kita pada hidup yang kekal bersama dengan Allah, tetapi juga harus sadar bahwa itu belum terjadi dan kita masih dalam penantian atau pengembaraan. Untuk itu sambil kita tetap memegang teguh pengharapan kita, kita juga harus melakukan tugas, tanggung jawab, perjuangan kita dalam menyelesaikan pengembaraan kita. Maka antara apa yang sedang kita nanti dengan apa yang kita jalani saat ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Yang membuat kita tetap bertahan melakukan tugas, tanggung jawab dan perjuangan kita saat ini walaupun berat adalah apa yang kita nantikan di depan kita. Ketika kita melihat bahwa betapa berarti dan indahnya hidup dalam persekutuan yang intim dengan Allah kelak, itu akan membuat kita terus berjalan melewati padang gurun pengembaraan kita dan tidak memperhitungkannya, walaupun di sana ada kesulitan dan penderitaan.

Saudara-saudara, seperti yang saya katakan tadi dari awal bahwa hidup ini adalah penantian yang sia-sia. Namun diakhir khotbah ini saya mau katakan, jangan berhenti menanti karena ternyata masih ada satu penantian yang tidak sia-sia dan bahkan mengubah seluruh penantian kita menjadi berarti, yaitu menanti kedatanan Tuhan Yesus yang kedua untuk memberi hidup kekal kepada setiap kita.

Aku Kembali ...!!!

Hi.... sobat-sobit sekalian.....
setelah sekian lama menghilang dari peredaran, akhirnya aku kembali lagiiiiiiiiiiiiiiii......... hehehehe......
Aku minta maap neh ama temen-temen yang setia membaca tulisan-tulisan saya (weleh.....), karena lama ga ngupdate blog ini. Yah, maklumlah.... lagi terkena krisis yang berkepanjangan. krisis kemalasan global. huahahaha.......
Oke, dech.... cukup sudah basa-basinya. Semoga blog ini bermanfaat bagi temen-temen.

God bless you....

SIBUK BELUM TENTU BAIK, DIAM TAK SELALU BURUK

Nats:  Lukas 10:38-42 “Tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”  (...