Nats: Yohanes 3:22-30
Pendahuluan
Dalam dunia ini tidak ada manusia yang
ingin jadi nomor dua. Semua ingin jadi nomor satu, yang terbaik, terdepan, dan
terbesar. Mulai dari bangku sekolah, kuliah sampai kerja, kita berlomba menjadi
nomor satu. Demikian juga di dunia olah raga, dunia bisnis, politik, bahkan di
gereja pun, orang berpacu menjadi yang terdepan. Namun ada satu peristiwa dalam
Alkitab yang bagi kita mungkin aneh dan mustahil dilakukan oleh orang zaman ini
di tengah persaingan yang serba ingin menjadi yang pertama. Peristiwa tersebut
tercatat dalam Yoh. 3:22-30.
Suatu hari murid-murid Yohanes mengadu
kepadanya tentang persaingan ketat mengenai acara baptis membaptis yang dilakukan
oleh murid-murid Yesus. Murid-murid Yohanes merasa terganggu karena murid-murid
Yesus “mencuri domba” di ladang pelayanan mereka (sepertinya mereka takut
popularitas golongan Yohanes Pembaptis akan berkurang). Tetapi ada satu hal
yang luar biasa dari Yohanes Pembaptis, yaitu pernyataannya kepada para
muridnya, “Dia harus semakin besar… aku harus semakin kecil”. Sebuah pernyataan
yang saya yakin sangat sulit untuk diucapkan dengan ketulusan dan kesungguhan
hati.
Apa yang membuat Yohanes Pembaptis bisa
sampai pada kesimpulan semacam ini? Jawabannya adalah karena ia mempunyai
tujuan yang sangat jelas dalam hidupnya, yaitu bahwa ia diutus ke dunia ini
untuk mempersiapkan jalan bagi Yesus dan segala sesuatu yang dikerjakannya
semata-mata untuk kemuliaan Yesus. Kalau kita tarik jauh ke belakang harusnya
kita juga melakukan apa yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, karena tujuan
kita diciptakan adalah untuk menikmati dan memuliakan Allah selama-lamanya.
Maka harusnya tidak ada satu aspek pun dalam hidup kita, di mana kita tidak
memuliakan dan membesarkan nama-Nya.
Pertanyaannya adalah apa rahasia yang
dimiliki Yohanes Pembaptis sehingga sukses dalam menjalankan tujuan utamanya
ini, yaitu membuat Yesus semakin besar dan ia semakin kecil? Minimal ada dua
hal:
1.
Kerendahan Hati
Bila kita melihat latar belakang
kehidupan Yohanes pembabtis, maka kita akan menemukan bahwa sebenarnya ada
begitu banyak hal yang ia miliki yang dapat ia banggakan.
Pertama, garis keturunan.
Yohanes Pembaptis lahir dari sepasang suami istri keturunan Harun. Satu
keturunan yang mempunyai posisi terhormat di masyarakat. Karena kita tahu bahwa
hanya keturunan Harun saja yang boleh melayani di rumah Tuhan. Dengan demikian
maka ayahnya juga adalah seorang imam, di mana hal ini berarti secara otomatis
Yohanes Pembaptis berhak atas jabatan imam yang terhormat itu beserta dengan
segala hak istimewa yang imam dapatkan.
Sementara Tuhan Yesus, sekalipun Dia
berasal dari keturunan Daud, namun Ia hanyalah seorang yang lahir dari keluarga
sederhana, keluarga tukang kayu (bukan pengusaha kayu, apalagi penguasa kayu).
Dia berasal dari keluarga miskin, bahkan kelahirannya pun dengan cara yang
sangat hina bila dibandingkan dengan kelahiran Yohanes Pembaptis. Walaupun
Alkitab tidak menceritakan Yohanes Pembaptis lahir di mana, tetapi saya yakin
sebagai anak seorang imam, dia pasti lahir di tempat yang sangat layak.
Kedua, keahliannya
berkhotbah. Pada waktu itu Yohanes pembaptis tidak berkhotbah di sinagoge
(tempat ibadah orang Yahudi). Yohanes pembaptis juga tidak berkhotbah di
tempat-tempat umum lainnya yang dapat membuka kesempatan bagi banyak orang
untuk datang mendengar dia. Yohanes Pembaptis berkhotbah di padang gurun. Tidak
ada orang yang mau ke padang gurun, apalagi tinggal di sana. Ini menunjukkan
betapa sepi dan sunyinya tempat itu, gersang dan daerah ini berada di sekitar sungai
Yordan. Namun yang menakjubkan adalah justru banyak orang yang mau datang dari
Yudea dan Yerusalem untuk mendengar khotbahnya (Mrk. 1:15). Tidak seperti para
pengkhotbah zaman ini, yang menjadi daya tariknya bukan khotbahnya tetapi
tempatnya, yaitu di mall-mall, gedung-gedung bertingkat dan di gereja-gereja
besar. Bahkan orang-orang penting dari Yerusalem, orang-orang terhormat dan
berpendidikan tinggi seperti imam-imam, orang-orang Lewi dan orang-orang Farisi
dikirim khusus untuk menemui Yohanes Pembaptis untuk melihat sendiri Yohanes
pembaptis, mendengarkan apa yang Yohanes Pembaptis sampaikan dan meminta
keterangan-keterangan penting darinya (Yoh. 1:19, 24).
Selain itu “KKR”-nya yang menyerukan
pertobatan dan pengampunan telah membawa banyak orang mengakui dosanya dan
dibaptis (Mrk. 1:5). Bahkan Tuhan Yesus pun datang kepadanya untuk dibaptis.
Saudara, tahukah ia bahwa ia memiliki kemampuan yang luar biasa? Tentu ia tahu.
Semua hal di atas semestinya dapat
menjadi kebanggaan bagi Yohanes Pembaptis
dan hal ini bisa membuat ia menjadi semakin besar dalam pelayanannya.
Namun ternyata ia tidak membanggakan dan menyombongkan semuanya itu karena ia
memiliki kerendahan hati. Ia tahu dengan sangat jelas posisinya sebagai pelayan
Tuhan. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah alat untuk menjadikan Yesus semakin
besar. Tujuan pelayanannya adalah untuk membesarkan Yesus dan bukan untuk
membesarkan dirinya sendiri.
Yohanes Pembaptis sadar akan posisinya
di hadapan Tuhan. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah alat untuk mempersiapkan
jalan bagi Yesus dan untuk membawa orang sebanyak mungkin datang kepada Yesus.
Itulah hakekat kerendahan hati, menempatkan diri pada posisi yang tepat
proporsional.
2.
Jiwa Pengorbanan
Apa yang dikorbankan oleh Yohanes
pembaptis untuk membesarkan Yesus? Jawabannya adalah dia mengorbankan
segala-galanya. Menjadi semakin kecil untuk membuat orang lain semakin besar
adalah merupakan satu pengorbanan yang sangat besar. Bagaimana mungkin bisa
diterima, kita yang bekerja keras… dan pihak lain yang diuntungkan… kita yang
menabur dengan bercucuran air mata… orang lain yang menuainya… kita yang dengan
setia mengasihi… tetapi orang lain yang memakan buahnya… bagaimana mungkin…
kita yang berusaha mati-matian tetapi ‘orang lain’ yang menjadi besar sedangkan
kita yang menjadi kecil.
Pelayanan Yohanes Pembaptis adalah
segala-galanya yang ia miliki. Melayani Tuhan bukanlah perkerjaan sampingan
atau part time bagi Yohanes
Pembaptis. Juga bukan untuk mengisi waktu luang. Namun, seluruh karirnya ada
dalam pelayanannya. Dia sudah menyerahkan dan mengabdikan seluruh hidupnya
untuk melayani. Maka sangat wajar sebenarnya kalau Yohanes Pembaptis mengejar
kebesaran lewat pelayanannya. Minimal ia ingin menjadi imam besar dan terkenal.
Atau kalau dalam konteks sekarang, mungkin sangat wajar jika dia ingin menjadi
seorang pendeta besar, pengkhotbah besar, atau hamba Tuhan yang memiliki banyak
pengikutnya. Namun semua keinginan itu telah dimatikan oleh Yohanes Pembaptis
dan sebaliknya justru ia rela menjadi semakin kecil asalkan Tuhan Yesus menjadi
semakin besar. Ini adalah sebuah pengorbanan besar.
Oleh karena jiwa pengorbanan ini,
Yohanes Pembaptis tidak pernah sekalipun dalam pelayanannya mencuri kemulian Tuhan
untuk dirinya sendiri. Bahkan pada satu kesempatan ketika orang-orang bertanya
tentang siapakah dia dan mereka menyamakan dia dengan nabi Elia bahkan Mesias,
dia berkata, “Bukan, aku bukan Elia, aku bukan Mesias ...” (Yoh. 1:20-23). Maka
kalau kita lihat pusat pemberiataannya bukanlah dirinya sendiri, tetapi Yesus
Kristus. Berbeda dengan para pengkhotbah zaman ini yang acap kali lebih banyak
memberitakan tentang dirinya daripada Tuhan Yesus. Yohanes Pembaptis seringkali
dalam pemberitaanya berkata, “sesudah aku ...” Oleh karena itu, ketika
murid-muridnya datang kepadanya memberitakan bahwa banyak orang yang mengikut
Yesus, ia tidak merasa tersaingi tetapi justru pada saat itulah ia merasakan
kesuksesan, yaitu sukses membawa banyak orang datang kepada Kristus. Sehingga
ia berkata, “... Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh.” (ay.
29).
Penutup
Saudara-saudara, bukankah seharusnya
ketika nafas kita masih berhembus adalah semata-mata untuk terus berlatih
supaya dapat membuat Dia semakin besar dan kita semakin kecil. Bukankah sudah
sepantasnya suatu hari nanti nama Tuhan akan semakin terkenal dan nama kita
akan semakin dilupakan orang-orang yang kita bimbing (dan itulah kesuksesan
pelayan Tuhan). Bukankah seharusnya suatu hari nanti kita menemukan diri kita
akan semakin dan semakin memikirkan tentang kesukaan-Nya daripada kesukaan diri
sendiri. Bukankah suatu hari nanti seharusnya kepemilikan Allah atas diri kita,
masa depan kita dan segala milik kita akan semakin besar dan kuasa kepemilikan
kita akan semakin kecil. Yah… Dia harus semakin besar dan kita harus makin
kecil… Dia harus makin bertambah dan kita harus makin berkurang…
Pertanyaannya bagi kita hari ini, apakah
kita sedang terus berusaha untuk semakin membesarkan “Dia”dan mengecilkan
bagian si “aku” atau justru sebaliknya? Kiranya Tuhan menolong kita dalam
mewujudkan, “Ia semakin besar, aku semakin kecil!”