"Kemudian, Allah berkata, "Marilah
sekarang Kita membuat manusia menurut gambar Kita, dalam keserupaan Kita. ...
Maka, Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Menurut gambar Allah, Ia
menciptakannya. Ia menciptakan mereka laki-laki dan perempuan. Allah memberkati
mereka dan berkata, "Beranakcuculah dan bertambah banyaklah, penuhilah
bumi dan kuasailah itu. ..."
(Kej. 1:26-28)
Landasan Komunitas Sosial
Landasan yang
paling utama keluarga sebagai komunitas sosial adalah Allah yang menciptakan
kita adalah Allah yang hidup dalam komunitas sosial. Allah kita adalah Allah
Tritunggal, yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Makanya dalam Kej. 1:26, kata
ganti orang yang dipakai bentuknya jamak, yaitu ”kita”. Allah tidak hidup
sendiri dan tidak hidup untuk diri-Nya sendiri. Dalam kekekalan Dia hidup
berbagi dalam komunitas yang ada dalam diri-Nya sendiri, yaitu Trinitas.
Untuk itu ketika
Allah merancang penciptaan manusia, dari awal Dia sudah merencanakan manusia
untuk hidup dalam komunitas sosial. Ayat 27: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka ...” Kata ganti yang dipakai
adalah ”mereka”, berbentuk jamak.
Dengan demikian orang
yang mengingkari kehidupan dalam komunitas sosial berarti mengingkari rencana
Allah dalam penciptaan dirinya.
Sebenarnya apakah
manusia bisa hidup seorang diri? Alkitab tidak mengatakan bahwa manusia tidak
bisa hidup seorang diri. Yang dikatakan oleh Alkitab adalah, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja ...” (Kej. 2:18).
Untuk itu Allah
tidak menciptakan manusia yang individualistis, tetapi manusia sosial, sehingga
dari awal Allah juga sudah memberi mandat kepada manusia untuk beranakcucu,
bertambah banyak dan mememunuhi bumi. Dan Allah menciptakan manusia sosial itu
diawali melalui satu komunitas yang sangat kecil, yaitu Adam dan Hawa, keluarga
pertama yang diciptakan oleh Allah. Dengan demikian keluarga adalah sebagai
tempat kita belajar menjadi manusia sosial, sebelum kita masuk ke dalam
komunitas yang lebih besar, yaitu gereja dan masyarakat luas.
Ada 3 (tiga) hal
yang membentuk komunitas sosial dalam keluarga/masyarakat:
1. Interaksi (hubungan timbal balik)
Interaksi ialah
tindakan atau aksi yang dibalas dengan reaksi. Manusia pertama kali belajar
berinterkasi dalam keluarga. Bahkan ketika manusia masih dalam kandungan, dia
sudah bisa berinteraksi dengan kedua orang tuanya.
Untuk membangun
sebuah interaksi yang baik, butuh kesediaan memberi waktu dan perhatian. Salah
satu yang merusak interaksi kita hari ini adalah teknologi. Hari ini
kita lebih banyak berinteraksi di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Teknologi
memang bisa membantu, tetapi juga bisa menjerumuskan manusia, termasuk keluarga
dalam membangun interaksi sosialnya. Waktu dan perhatian yang harusnya kita
berikan untuk pasangan, anak, orang tua untuk berinteraksi dan membangun
relasi, secara tidak sadar kita alihkan kepada teknologi yang ada di genggaman
kita.
Teknologi hari ini juga acapkali menghambat interaksi kita
secara fisik terhadap anggota keluarga, seperti kontak fisik, kontak mata,
berbicara dan mendengarkan secara langsung. Untuk mendeteksi hal ini secara
sederhana adalah coba hitung berapa banyak kita berkomunikasi dengan anggota
keluarga kita melalui aplikasi WhatsApp dibanding berkomunikasi secara
langsung. Jika waktu berkomunikasi dengan anggota keluarga lebih banyak lewat
media sosial, kita sedang menghambat interaksi sosial di dalam keluarga kita. Komunikasi seperti ini, cepat atau lambat
akan menghancurkan keluarga kita sebagai satu komunitas sosial dan tentu saja
berdampak juga di dalam komunitas sosial yang lebih besar, misalnya, gereja
atau masyarakat.
2. Saling mempengaruhi
Dalam sebuah
komunitas sosial, harus bisa saling mempengaruhi ke arah yang lebih baik.
Makanya Adam dan Hawa bisa saling mempengaruhi, sayangnya mereka saling
mempengaruhi untuk jatuh dalam dosa. Namun, Tuhan menghendaki keluarga sebagai
komunitas sosial bisa saling memberi pengaruh yang membawa kepada pembentukan
karakter yang lebih baik. Pengaruh yang kita berikan bisa lewat perkataan,
sikap dan tingkah laku yang kita tunjukkan di depan anggota keluarga kita. Pada
waktu anak-anak saya berumur sekita 1-2 tahun, mereka suka meniru apa yang saya
katakan dan lakukan. Apa pun mereka tiru. Saya tertawa ditiru, batuk ditiru,
perkataan saya ditiru, saya teriak juga ditiru. Kalau hari ini saya tidak
memberi pengaruh yang baik kepada anak-anak saya melalui perkataan dan
perbuatan, kelak mereka akan bawa pengaruh yang buruk sampai mereka besar dan
pengaruh itu akan mereka bawa sampai ke dalam hidup sosial yang lebih luas,
yaitu masyarakat.
Maka salah satu
ukuran keberhasilan sebuah keluarga adalah jika antar anggota keluarga bisa
saling mengubah satu sama lain ke arah yang lebih baik, yaitu ke arah
pertumbuhan karakter menjadi semakin serupa dengan Kristus.
3. Fungsi sosial
Setiap anggota
keluarga sebagai komunitas sosial memiliki fungsi sesuai dengan perannya
masing-masing. Seorang suami harus bisa berfungsi sesuai dengan perannya
sebagai suami. Demikian juga dengan istri dan anak. Berfungsi sesuai perannya
ini sangat penting dalam sebuah komunitas sosial di dalam keluarga. Misalnya,
jika ada pertukaran fungsi antara suami dan istri akan membingungkan anak dalam
kehidupan sosialnya. Anak akan mengalami kerancuan mengenai figur ayah dan ibu.
Atau jika salah satu tidak berfungsi sesuai dengan perannya maka bisa terjadi
disfungsi sosial di dalam keluarga.
Kita harus
berhati-hati dalam hal ini, khususnya bagi kita sebagai orang tua. Hari ini
banyak orang tua yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan celakanya
secara tidak sadar fungsi-fungsi kita yang mandek itu dijalankan atau
digantikan oleh figur-figur lain, seperti asisten rumah tangga, baby sitter atau figur-figur lain yang
mereka temukan di media sosial atau di luar rumah ketika mereka berinteraksi.
Disfungsi orang
tua dalam keluarga lebih jauh juga dapat berdampak buruk dalam pembentukan
identitas anak, termasuk identitas gender, bahkan juga dapat membentuk
orientasi seksual yang salah.
GI. Aksi Bali, M.Th.
No comments:
Post a Comment