PENDAHULUAN
Seni
merupakan satu aspek yang Tuhan anugerahkan dalam kehidupan manusia. Kita tidak
dapat pungkiri bahwa seni – lukisan, patung, fotogradi, musik, puisi, dan
sebagainya – telah memberi pengaruh besar dalam kehidupan baik dalam tatanan
praktis maupun dalam tatanan filosofis. Seni telah mewarnai dan memberi
keindahan dalam dunia yang berdosa ini. Bahkan seni juga telah mengisi
kehampaan di tengah hiruk-pikuk dunia ini dan yang sebenarnya penuh dengan
kekosongan. Namun, bagaimanakah kita memaknai seni? Apakah seni hanya merupakan
sebuah fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia secara kebetulan? Adakah
kaitan antara seni dengan teologi dan dengan Allah Tritunggal yang kita sembah?
Atau apakah seni merupakan salah satu dari mandat budaya yang Tuhan berikan
kepada manusia?
Di satu sisi para kritikus seni telah
memberikan satu kesadaran kepada kita untuk menyanjung seni terlalu tinggi atau
mempertuhankan seni. Misalnya, kritik Calvin Seerved terhadap asumsi-asumsi
Alkitabiah di dalam konsep keindahan Paltonis dan Aristotelian.[1]
Namun, jika kita mengkritik seni atau keindahan sebagai sesuatu yang tidak
dapat dipertuhankan, bagaimanakah sikap kita seharusnya. Bagaimana Alkitab dan
teologi menuntun kita untuk bersikap terhadap seni dalam pengalaman kehidupan
kita. Untuk itu kita perlu melihat dan memahami letak seni dalam mandat budaya
yang diberika Allah kepada manusia. Atau lebih jauh lagi, apakah seni merupakan
salah satu mandat budaya? Apakah seni merupakan rancangan Allah dalam budaya
manusia atau hanya merupakan satu fenomena yang muncul secara kebetulan dalam
dunia ini? Bagaimana melihat seni secara ontologis dalam diri Allah dan dalam
karya ciptaan-Nya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan hal yang menarik
untuk ditelaah dan khususnya dalam konteks ini akan ditinjau dari mandat
budaya. Untuk itu sebelum masuk dalam pembahasan mengenai seni sebagai salah
satu mandat budaya, terlebih dahulu akan dipaparkan secara sekilas mengenai apa
itu mandat budaya. Kemudian akan dibahas mengenai pengaruh dan perkembangan
seni dalam dunia dan dalam pengalaman hidup manusia, serta bagaimana gereja
melihat seni sebagai mandat budaya.
SEKILAS TENTANG MANDAT BUDAYA
Istilah
budaya (kebudayaan) sendiri tidak tertulis secara eksplisit di dalam Alkitab,
namun konsep atau prinsipnya sangat jelas di dalam Alkitab. “Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penulilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.” (Kej. 1:28). Ayat ini pada umumnya diterima sebagai
cikal-bakal dari mandat budaya. Bagian ini kemudian ditegaskan lagi oleh Allah
dalam perjanjian-Nya kepada Nuh, “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta
penuhilah bumi.” (Kej. 9:1).
Sebelum
lebih jauh, kita harus melihat terlebih dahulu pengertian dari kebudayaan itu
sendiri. Berbagai formulasi telah bermunculan sebagai satu upaya untuk
mendefinisikan kebudayaan. Henry Meeter menyimpulkan bahwa kebudayaan adalah
“setiap pengembangan atas diri manusia yang menghasilkan peningkatan,
pencerahan, dan disiplin yang diperoleh melalui pelatihan mental dan moral,
peradaban, peningkatan dalam hal tata krama dan selera yang tinggi.”[2]
Dengan menggunakan analogi dari William Shakespeare bahwa dunia ini sebagai
sebuah panggung di mana manusia memaikan perannya, Kevin J. Vanhoozer
mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan adalah “pertunjukkan” dari keyakinan dan nilai-nilai utama dari
seseorang, atau suatu cara konkrit untuk “mementaskan” agama. Setiap orang
adalah aktor yang memakai kostum kebudayaan dan sejarah, dan harus pula berada
dalam adegan yang dikondisikan oleh budaya dan sejarah. Mereka tidak diberi
naskah, tetapi diberi bahasa tertentu. Kebudayaan adalah lingkungan di mana
seseorang memerankan adegan ketika berada di atas pentas. Lingkungan kebudayaan
mempengaruhi dan mengkondisikan apa yang dilihat, dikatakan dan dilakukan
aktor. Jika dunia adalah panggung, kebudayaan adalah perkakas yang memenuhi
panggung itu.[3]
Dari
definisi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan mengandung unsur
pengelolaan, penggalian dan pengembangan atau penumbuhan yang dilakukan oleh
manusia di dalam dan melalui alam semesta yang diciptakan Allah yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Atau dalam rumus Kenneth A. Myers, bahwa,
“Culture is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals,
law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member
of society.”[4]
Kalau kita kaitkan dengan Kej. 1:28, maka konsep mandat budaya untuk menguasai
dan menaklukkan bumi berarti menggali dan mengembangkan semua yang ada di bumi
ini, berkarya dan berpartisipasi melalui dan di dalamnya, bukan mengeksploitasinya.
Dengan kata lain, respons manusia terhadap mandat yang diberikan oleh Allah
menghasilkan kebudayaan. Dalam sejarah Kekristenan memiliki berbagai cara
pendekatan terhadap kebudayaan. Sejauh ini minimal ada enam cara pendekatan
kontemporer Kristen terhadap kebudayaan, yaitu: [5]
1.
Cultural indifference, yaitu satu sikap yang tidak mau memikirkan atau tidak peduli mengenai
kebudayaan khususnya berkaitan dengan iman mereka. Mereka mungkin tetap
bersentuhan dengan kebudayaan, tetapi tidak memberi perspektif iman Kristen
terhadap kebudayaan.
2.
Cultural aversion,
yaitu sikap yang mengganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang merusak iman
Kristen sehingga sikap terbaik terhadap kebudayaan adalah mengabaikan atau
menjauhinya supaya iman Kristen tidak terkontaminasi olehnya.
3.
Cultural trivialization, yaitu pendekatan yang membedakan kebudayaan Kristen secara khas dengan
bentuk-bentuk budaya populer yang ada. Budaya yang diterima hanyalah budaya
yang dianggap sesuai dengan ayat-ayat Alkitab dan simbol-simbil Kristen yang
terkenal.
4.
Cultural accommodation, yaitu pendekatan yang beranggapan bahwa merupakan tugas iman kita untuk
mengakomodasi semua bentuk budaya dan haya hidup yang muncul. Pandangan ini
tidak memiliki judgmental terhadap
budaya karena menganggap budaya sebagai sesuatu yang netral.
5.
Cultural separation, yaitu pendekatan yang memiliki pandangan luas terhadap budaya, namun
mereka berusaha keras memisahkan budaya Kristen dengan budaya yang ada sehingga
mereka mempromosikan atau membangun alternatif budaya Kristen terhadap budaya
yang sudah ada.
6.
Culture triumphalism, yaitu sikap yang menaruh harapan terlalu banyak terhadap kebudayaan
sehingga sikap yang timbul adalah merayakan dan bersukacita atas semua budaya
yang ada.
Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya
kita bersikap terhadap kebudayaan? Pendapat T.M. Moore terhadap kebudayaan
dapat menjadi representasi sikap Kristen yang seharusnya terhadap kebudayaan.
Culture matters, in other words; and, when it comes to culture matters,
those who live in vital relation to the King and Lord of all cultures and
kingdoms must not treat this as a subject of secondary importance. It involves
all of life, all the time, and all our relationships, roles, and
responsibilities. ... The approach we take engaging the culture of our day must
be shaped by our citizenship in the kingdom of God; moreover, that approach
will, wether we are conscious of it or not, give strong testimony to the
watching world concerning the nature and importance of that eternal realm.[6]
Dengan
demikian mandat budaya merupakan bagian dari rencana Allah dalam penciptaan
alam semesta dan dalam panggilan kita sebagai warga kerajaan Allah. Mandat
budaya bukan merupakan hukuman atau konsekuensi dari kejatuhan manusia, tetapi
merupakan rencana kekal Allah dalam penciptaan manusia dan alam semesta. Oleh
karena itu seni sebagai bagian dari kebudayaan juga merupakan mandat atau
panggilan Allah dalam diri manusia dan yang diejawantahkan dalam karya-karya
seni yang dihasilkan oleh manusia.
SENI SEBAGAI MANDAT BUDAYA
Dalam
bagian ini kita akan melihat bagaimana worldview
Kristen terhadap seni sebagai mandat budaya. Kita akan melihat landasan-landasan
teologis terhadap seni sebagai mandat budaya.
Allah
Tritunggal dan Seni
Pada
umumnya orang Kristen tidak mengalami kesulitan ketika berbicara tentang
kebenaran dan kebaikan. Paling tidak hal itu merupakan topik yang sangat
berkaitan dengan teologi atau memiliki kaitan langsung ketika berbicara tentang
Allah misalnya. Kita dengan mudah menurunkan berbagai konsep tentang Allah
ketika kita berbicara mengenai hal tersebut. Namun, bagaimana dengan topik
mengenai seni dan keindahan? Adakah kaitan dengan Allah kita dan teologi? Atau
dalam pertanyaan Clowney, “Bisakah teologi membantu kita memahami pengalaman
estetika?”[7]
Untuk
menjawab hal tersebut mau tidak mau kita harus kembali kepada landasan
ontologis, yaitu kembali kepada konsep Allah yang kita sembah. Allah yang kita
sembah tidak hanya menyatakan keindahan melalui ciptaan-Nya, tetapi pada
diri-Nya sendiri Dia adalah Allah yang indah. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Allah yang kita sembah adalah Allah Tritunggal. Konsep
Allah Tritunggal (Trinitas) yang pertama kali dicetuskan oleh Tertulianus
dengan formulanya yang terkenal, tres
personae, una substantia[8]
(tiga pribadi, satu substansi) merupakan satu keunikan dalam Kekristenan. Donald G. Bloesch
memberikan definisi secara sederhana mengenai Allah Tritunggal, yaitu bahwa,
“Allah adalah satu pribadi di dalam tiga being
atau tiga pribadi di dalam satu being.”[9]
Tiga pribadi tersebut terdiri dari Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus,
namun satu kesatuan. Keindahan Allah
Tritunggal yang kita sembah dapat terlihat dalam
hubungan perichoresis, sebagaimana Agustinus
mengatakan bahwa Bapa berperan sebagai pecinta (lover), Anak sebagai yang dicintai (beloved), dan Roh Kudus sebagai cinta (love).[10] Keindahan Allah Tritunggal di sini dapat dilihat dari
kasih dan kehidupan yang tidak terbatas, Allah yang aktif dan hadir dalam
dunia, bukan pasif, dan Allah yang tidak statis tetapi dinamis.[11] Jeremy
S. Begbie menyimpulakan bahwa,
If beauty is to be ascribed promordially to the triune God, and the life of
God is constitude by the dynamism of outgoing love, then primordial beauty is the beauty of this ecstatic love for the
other. God’s beauty is not static struture but dynamism of love. The
“proportion and consonance” of God, hid “brightness” or radiance, his
“perfection” and his affording “pleasure upon contemplation” are all to be
understood in the light of the endless self-donation of Father to Son and Son
to Father in the ecstatic momentum of the Spirit.[12]
Dengan
demikian secara filosofis, seni mengambil tempat yang sangat penting dalam
teologi Kristen karena keindahan merupakan sifat ontologis dari Allah
Tritunggal. Untuk itu ketika Allah memberikan mandat budaya kepada manusia
tidak mungkin lepas dari aspek seni yang merupakan sifat kekal dari Allah
Tritunggal. Bahkan seorang filsuf Jerman berkata dalam kaitan dengan sifat
Allah Tritunggal ini bahwa ada tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu: das Wahre (kebenaran), das Gute (kebaikan), dan das Schone (keindahan).[13]
Bagi Karl Barth, keindahan Allah merupakan sesuatu yang sulit untuk
didefinisikan. Barth berpendapat bahwa keindahan Allah tidak dapat
didefinisikan sesuai dengan apa yang kita rumuskan tetapi kita dapat melihat
dari apa yang dinyatakan oleh Allah itu sendiri.[14]
“From that perspective we can say that God’s beauty is God’s power to attract,
to give pleasure, to create desire, to awaken joy and and wonder.”[15]
Keindahan
Ciptaan
Sifat
keindahan dalam diri Allah Tritunggal sebagai pencipta terejawantahkan dalam
ciptaan-Nya. Kalau kita memperhatikan dalam kisah penciptaan dalam kitab
Kejadian, kita dapat melihat cerminan Allah yang indah dalam cara dan penilaian
yang Ia berikan terhadap ciptaan itu sendiri. Clowney menggambarkannya
demikian,
Di dalam karya ciptaan-Nya Allah menyatakan dirinya sendiri. Menurut
Kejadian, penciptaan bukanlah suatu emanasi dari Keberadaan Allah; penciptaan
merupakan karya dari Firman-Nya. Ia berfirman dan terjadilah demikian; ia
memerintahkan dan terlaksanalah demikian. Karya tersebut sesuai dengan
persetujuan-Nya yang berulang kali dinyatakan: “Dan Allah melihat bahwa
semuanya baik” (Kej.1:10, 12, dll.). Tuhan puasmelihat ciptaan-Nya. Di taman
dimana Allah menempatlan manusia yang telah Ia jadikan, terdapat “pohon-pohon
yang menarik untuk dipandang” seagaimana juga “baik untuk dimakan” (Kej. 2:9).
Keindahan pepohonan di Eden digemakan secara superlatif di dalam firman yang
diterima Yehezkiel. Di sana Asyur digambarkan sebagai pohon cedar dari Lebanon,
yang keindahannya merupakan “kecemburuan bagi semua pepohonan di Eden di taman
Allah (Yeh. 31:9).[16]
Keindahan
ciptaan Allah tidak hanya pada akreditasi yang diberikan oleh Allah, “semuanya
baik” tetapi juga pada bagaimana Allah menata semua ciptaan yang ada. Allah
mengatur semua ciptaan sedemikian rupa sehingga berada dalam satu harmoni yang
sangat indah. Dia meletakkan semua ciptaan pada posisi yang sangat sempurna,
memisahkan siang dan malam, terang dengan gelap, memisahkan air dengan daratan,
dan keagungan yang ia nyatakan lewat kehidupan yang Ia berikan atas semua
makhluk ciptaan. Di sini kita melihat bahwa Allah yang kita sembah bukan hanya
sebagai Creator, tetapi Ia juga
pencipta yang creative. Untuk itu
keindahan dari seluruh ciptaan Allah pada dasarnya bukan menceritakan ciptaan
itu sendiri pada dirinya, tetapi menceritakan Allah yang menciptakannya. Dengan
kata lain, keindahan alam ciptaan Allah terletak, bukan pada alam ciptaan itu
sendiri tetapi pada diri Allah yang menciptakan-Nya.
Manusia
sebagai Makhluk Seni
Alkitab
menuliskan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, “Baiklah
Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita … Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej. 1:26-27). Implikasi
sederhana dari manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah Tritunggal
adalah, bahwa sifat-sifat manusia
mencerminkan sifat-sifat
Allah Tritunggal. Sifat-sifat Allah
yang ada dalam diri manusia bukan hanya kebaikan, kebenaran, kekudusan, dan
sifat-sifat lainnya, tetapi juga sifat seni yang ada dalam diri Allah merupakan
sifat yang tidak dapat terpisahkan dalam diri manusia. Sehingga mandat budaya
yang diberikan Allah kepada manusia juga tidak lepas dari seni sebagai bagian
yang menyatu di dalamnya. Secara singkat kita dapat katakan bahwa manusia
merupakan makhluk seni.
Manusia
yang diciptakan dalam rupa dan gambar Allah yang indah memberitahukan kepada
kita bahwa sejak manusia diciptakan sudah memiliki benih-benih keindahan dalam
dirinya. Hal itu tercemin salah satunya dari bagaimana manusia menjalankan
mandat budaya pertama sekali di taman Eden, yaitu bagaimana manusia menata dan
memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada
segala binatang hutan (Kej. 2:19-20). Di sini kita dapat melihat kreatifitas
manusia yang merupakan cerminan dari kreatifitas Allah. Dengan demikian karya
seni yang dihasilkan oleh manusia bukan semata-mata merupakan hasil dari
perjumpaan manusia dengan alam, sebagaimana yang dituliskan oleh Dick Hartoko,[17]
tetapi merukapan hasil perjumpaan manusia dengan Allah yang menciptakannya.
Setelah
manusia jatuh dalam dosa, apakah seni yang ada dalam diri manusia – yang
merupakan salah satu wujud gambar dan rupa Allah dalam dirinya – menjadi
hilang? Jawabannya adalah tidak. Sekalipun Alkitab mengatakan bahwa setelah
manusia jatuh ke dalam dosa, manusia telah “kehilangan kemuliaan Allah,” namun
– sebagaimana sifat-sifat yang lain – benih-benih seni dalam diri manusia tidak
pernah hilang, yang hilang adalah arah dan tujuan dari karya seni yang
dilakukan oleh manusia. Hal ini tercermin dari karya seni yang dihasilkan oleh
manusia, yang diwakili oleh menara Babel, yaitu sebagai wujud pemberontakan
manusia kepada Allah. Namun, Allah dalam penebusan yang Ia rancang dan berikan
kepada manusia, membawa kembali arah dan tujuan karya seni yang dihasilkan
manusia untuk kemuliaan Allah. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dari
karya-karya seni yang dihasilkan oleh bangsa Israel di Tabernakel misalnya. Keindahan
yang ditujukan melalui desain dan
keterampilan di Tabernakel merupakan wujud dari karya seni yang dihasilkan
bagi kemuliaan Allah.[18]
Kesimpulan
bahwa keindahan alam semesta merupakan bukan menceritakan keindahan alam itu
sendiri tetapi menceritakan keindahan Allah, sebagaimana telah diungkapkan di
atas, juga berlaku dalam karya seni yang dihasilkan oleh manusia. Karya seni
yang dihasilkan oleh manusia pada dasarnya bukan untuk menceritakan betapa
agung dan indanya manusia itu – sekalipun kita tidak dapat mengingkari bahwa
manusia itu memang indah – tetapi menceritakan betapa agung dan indahnya Allah yang
menciptakan manusia tersebut.
GEREJA DAN SENI
Setelah
kita memahami bagaiamana konsep seni sebagai mandat budaya, kita akan melihat
bagaimana respons gereja terhadap seni. Di sini kita akan melihat bagaimana
seharusnya gereja merespons seni dalam kehidupan bergereja. Di manakah tempat
seni di dalam gereja, baik dalam pengajaran gereja maupun dalam partisipasinya
untuk menghasilkan karya-karya seni sebagai salah satu wujud gereja
melaksanakan mandat budaya yang diberikan Allah.
Pengaruh
dan Perkembangan Seni dalam Kekristenan
Untuk mengerti bagaimana gereja menempatkan seni dalam
doktrin dan dalam kehidupan praktis, kita harus mulai dari jemaat mula-mula,
kemudian perkembangan seni dalam Kekristenan sampai abad ke-21 ini. Sekalipun
ada anggapan bahwa Kekristenan mula-mula tidak bersentuhan dengan seni, namun
beberapa ahli setuju bahwa Kekristenan merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dari seni, termasuk dalam Kekristenan mula-mula.[19]
Seni
dalam Kekristenan mula-mula teridentifikasi dari gambaran-gambaran visual yang dihasilkan
sekita tahun 200an masehi, misalnya katakombe (kuburan bawah tanah) dan juga
tempat-tempat pemakaman dari orang-orang Kristen.[20] Lebih
lanjut Dyrness mengatakan bahwa, “Wall pantings contained shephered images,
fish symbols, and athletes’ palms, and their presence was unobtrusive. Indeed,
the meanings of such paintings were intentionally hidden from the outsiders.”[21]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni dalam Kekristenan mula-mula
dikembangkan dalam komunitas mereka atau dilakukan secara rahasia. Misalnya, hasil-hasil
karya seni seperti ukiran-ukiran yang pembuatnya anonimus. Praktek ini disebut
oleh Dietrich Bonhoeffer sebagai discipline
of the secret.[22]
Fenomena ini menandakan ciri seni yang berkembang dalam Kekristenan mula-mula.
Pada
abad ke-3 Kekristenan yang sudah lebih mapan sudah mulai memperlihatkan
gambar-gambar pualam, walaupun gambar yang dimunculkan masih sama dengan abad
ke-2. Kebebasan untuk merayakan dan mengekspresikan seni Kristen ditandai
setelah Kekristenan menjadi agama resmi dari Kekaisaran Romawi pada konversi Constantine
tahun 312.[23]
Setelah itu Kekristenan terus memberi pengaruh dan mengembangkan seni dari
zaman ke zaman. Pengaruh dan perkembangan seni Kristen seiring dengan
perkembangan Kekristenan itu sendiri, yaitu sampi ke dunia Barat.
Pada
permulaan Renaissance sekitar tahun 1200 di Perancis menandai pembeharuan seni
yang dipelopori oleh Eropa Barat. Hal ini terlihat dari bangunan-bangunan
gereja yang sangat artisitik. Pada tahun 1144 pembungan gereja yang bergaya
Gothic di kota paris merupakan salah wujud pembaharuan dalam seni Kristen.
Gereja tersebut merupakan pandahulu dari Notre
Dame Cathedral.[24]
Ornamen-ornamen dan struktur bangunan gereja-gereja pada masa itu tidak hanya
menunjukkan nilai seni yang tinggi yang dimiliki oleh orang Kristen, tetapi
juga mengandung makna teologis. Misalnya, ornamen-oranamen yang melukiskan
penghakiman terakhir yang di Amiens Cathedral.[25]
Seni
dalam Kekristenan terus berkembang dan memberi pengaruh sampai pada zaman
reformasi bahkan pada abad ke-21 ini. Karya-karya seni yang dihasilkan
mengandung implikasi-implikasi teologi yang sangat dalam. Namun pada akhir abad
ke-20 penyebaran orang dan kelompok-kelompok menjadikan makna seni mengalami
perubahan, yaitu lebih kepada refleksi seni yang digunakan melaui penyembahan
dan signifikansi teologinya.[26]
Terlepas
dari perubahan makna-makna yang cara mengungkapkan seni dari zaman ke zaman,
harus diakui bahwa Kekristenan dan gereja telah memberi kontribusi besar dalam
mengembangkan karya seni sebagai salah satu mandat budaya. Sedikit banyak
Kekristenan juga telah memberi pengaruh dalam dunia seni sehingga perkembangan
seni tidak dapat terlepas dari Kekristenan.
Seni
sebagai Panggilan Gereja
Gereja sebagai wujud dari komunitas umat Allah di dunia
ini dipanggil bukan hanya untuk diselamatkan melainkan juga untuk meneruskan
mandat budaya yang sesuai dengan kehendak Allah di dunia ini. Sejak manusia
jatuh ke dalam dosa, manusia telah kehilangan arah dalam menjalankan mandat
budaya, termasuk dalam karya seni. Untuk itu gereja dipilih dan dipanggil oleh
Allah untuk menjadi representasi dari pelaksanaan kehendak Allah lewat seni
sebagai mandat budaya. Dunia tanpa gereja akan semakin membawa seni jauh dari
dari rencana Allah semula bagi dunia ini dan jauh dari cerminan diri Allah
sebagai Allah yang indah. Namun dengan kehadiran gereja, maka produksi
karya-karya seni yang mencerminkan gambar dan rupa Allah dimungkinkan.
Gereja,
di tengah-tengah dunia dengan sekularismenya yang mencoba memberi makna-makna
tersendiri terhadap seni, menghadapi tantangan yang sangat besar. Dunia dengan
berbagai worldview yang ditawarkannya
dapat membuat kita mengabaikan nilai seni yang harus selalu terkait dengan
Allah, yang bukan hanya pencipta seni tetapi juga di dalalam diri-Nya sendiri
memiliki nilai seni. Untuk itu gereja dipanggil untuk terus-menerus menanamkan worldview Kristen tentang seni sebagai
mandat budaya sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar sebelumnya. Gereja
harus dapat secara genuine menujukkan
worldview-nya yang memang berbeda
dengan dunia yang berdosa ini. Hanya dengan cara demikianlah gereja dapat
memberi pengaruh di dunia ini, dan dalam konteks ini khususnya seni sebagai
mandat budaya, sebab gereja tidak dapat menawarkan ajaran dan
tradisi-tradisinya secara murni jika sudah terkontaminasi oleh worldview dunia ini.
Seni
bagi Kemuliaan Allah
Dalam Katekismus Westminster dituliskan bahwa “Man’s chief end is to glorify God and
to enjoy him forever.”[27]
Tujuan penciptaan ini harus menjadi tujuan tertinggi dalam hidup kita. Tujuan
hidup kita adalah untuk menikmati Allah, menikmati kasih dan keindahan-Nya. Selain menikmati Allah, tujuan hidup
kita sesuai dengan tujuan penciptaan adalah untuk memuliakan Allah. Hal senada
juga diungkapkan oleh rasul Paulus dalam
Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada
Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Paulus juga mengungkapkan tujuan hidup manusia adalah
untuk memuliakan Allah ketika ia berkata, “Jika engkau makan atau jika engkau
minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu
untuk kemuliaan Allah.” (1 Kor. 10:31). Seluruh
aspek kehidupan kita harus dikerahkan bagi kemuliaan Allah.
Dengan
demikian, jika seluruh aspek kehidupan kita adalah untuk memuliakan Allah, maka
seni sebagai mandat budaya juga harus dipakai untuk memuliakan Allah. Sebagaimana
umat Perjanjian Lama memiliki wawasan bahwa seni merupakan karya yang harus
bertujuan bagia kemulian Allah, demikian juga harus dengan gereja hari ini.
Jika umat Perjanjian Lama telah mewujudkan hal tersebut melalui Tabernakel dan
Bait Allah,[28]
lalu bagaimana dengan gereja hari ini.?
Prinsip
teologi tentang seni adalah bahwa seni itu dipergunakan untuk kepentingan atau
kemuliaan Allah.[29]
Konsep ini harus terus ditanamkan dalam teologi Kristen karena jika tidak kita
dapat jatuh pada memberhalakan seni itu sendiri, karena harus diakui bahwa seni
itu memiliki kekuatan untuk dijadikan berhala dalam kehidupan kita. Hal ini
juga menjadi penting karena seni itu tidak dapat dilelepaskan dari kehidupan
gereja, bahkan di dalam ibadah yang kita lakukan, kita dapat menemukan berbagai
unsur seni. Unsur-unsur seni di dalam gereja kita dapati mulai dari
bangunan-bangunan gereja yang memimiliki nilai seni sampai pada penyembahan dan
ibadah yang kita lakukan yang penuh dengan nilai seni. Mulai dari unsur-unsur
ibadah itu sendiri, misalnya nyanyian, tarian, drama, dan sebagainya, sampai
pada sarana-sarana yang dipergunakan, seperti alat-alat musik.
Pada
dasarnya ini merupakan tugas gereja untuk mewujudkan sifat Allah yang indah di
dalam kehidupan umat-Nya lewat gereja. Gereja harus dapat merancang satu ibadah
yang tidak hanya merupakan ekspresi dalam penyembahan kepada Allah tetapi juga
sebagai ekspresi seni yang merupakan mandat budaya.[30]
Namun, semua ekspresi seni yang diungkapkan di dalam ibadah dan penyembahan
kita, tujuannya hanya satu yaitu bagi kemuliaan Allah. Dengan kata lain seni
merupakan wujud dari perayaan penciptaan dan Allah sebagai ciptaan.[31]
Penutup
Dari
pemaparan mengenai seni sebagai mandat budaya di atas, terlihat dengan jelas
bahwa seni bukan merupakan bagian yang terpisah dari teologi Kristen,
sebaliknya merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lain.
Untuk itu pertanyaan mengenai apakah teologi dapat membenatu kita memahami
pengalaman estetika dapat terjawab melalui penyajian di atas. Teologi tidak
hanya memungkin tetapi harus dapat memberi pemahaman tentang pengalam estetika,
karena pengalaman estetika (seni) merupakan bagian dari mandat budaya yang
diberikan Allah kepada manusia sejak penciptaan. Dengan kata lain seni adalah
panggilan yang harus diemban oleh setiap orang dan khususnya orang percaya
dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan dalam dirinya.
Dengan
demikian – sebagai saran praktis – gereja harus mengembankan seni sebagai
mandat budaya dengan menempuh berbagai cara, misalnya melalui pengajaran
tentang pentingnya seni dalam kehidupan orang Kristen, baik melalui
pembinaan-pembinaan maupun melalui khotbah-khotbah di atas mimbar. Gereja juga
harus mampu mengakomodasi seni di dalam berbagai aspek, misalnya melalui bangunan
gereja, musik dan ibadah yang memiliki nilai estetika.
Carson, D.A. dan John D. Woodbridge. eds. Allah dan Kebudayaan. Surabaya:
Momentum,
2002.
Meeter, H. Henry. Pandangan-pandangan
Dasar Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009.
Myers, Kenneth A. All
God’s Children and Blue Suede Shoes: Christianity and Popular Culture.
Illinois: Crossway Books, 1989.
Moore, T.M. Culture Matters:
A Call for Consensus on Christian Cultural Engagement. Grand
Rapids, Michigan: Brazos Press, 2007.
Treier, Daniel J. dan David Lauber Trinitarian. eds. Theology for the Church: Scripture,
Community,
Worship. Downers Grove: IVP Academic,
2009.
Bloesch, Donald G.
God The Almighty: Power, Wisdom,
Holiness, Love. Downers Grove:
InterVarsity Press, 1995.
Holmes, Peter R. Trinity
in Human Community: Exploring Congregational Life in The Image of
the Social
Trinity. Lynnwood Avenue: Paternoster
Press, 2006.
Begbie, Jeremy S. The
Beauty God: Theology and the Arts. Downers Grove, Illinois: IVP, 2007.
Hadi, Y. Sumandiyo.
Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta:
Pustaka, 2006.
Gruchy, John W. De.
Christianity, Art and Transformation. Cambridge: Cambridge University
Press, 2001.
Hartoko, Dick. Manusia
dan Seni. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Dyrness, William A. Visual
Faith: Art, Theology, and Worship in Dialogue. Grand Rapids,
Michigan: Baker Academic, 2001.
Williamson, G.I. The
Westminster Short Catechism. New Jersey: P & R Publishing, 2003.
Schaefffer, Francis A. Art and the Bible. Downers Grove, Illinois: IVP, 1973.
Ryken, Philip Graham. Art
for God’s Sake: A Call to Recover the Art. New Jersey: P & R
Publishing, 2006.
Goens, Linda M. Praising
God Through the Lively Arts. Nashville: Abingdon Press, 1999.
Hall, David W. and Marvin Padgett. Calvin and Culture: Exploring A Worldview. New Jersey: P
& R Publishing, 2010.
[1] Edmun P
Clowney, “Seni yang Hidup” dalam Allah
dan Kebudayaan, eds. D.A. Carson dan John D. Woodbridge (Surabaya:
Momentum, 2002), 282.
[3] Kevin J. Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan
dengan Baik? Teologi, Kebudayaan, dan Hermeneutika” dalam Allah dan Kebudayaan, 2.
[4] Kenneth A.
Myers, All God’s Children and Blue Suede
Shoes: Christianity and Popular Culture (Illinois: Crossway Books, 1989),
27.
[5] Keenam cara
pendekatan di atas merupakan ringkasan dari T.M. Moore, Culture Matters: A Call for Consensus on Christian Cultural Engagement (Grand
Rapids, Michigan: Brazos Press, 2007), 12-14.
[8] John
R. Franke, “God Is Love: The Social Trinity and the mission of God,” dalam Trinitarian Theology for the Church:
Scripture, Community, Worship, eds. Daniel J. Treier dan David Lauber
(Downers Grove: IVP Academic, 2009), 111.
[9] Donald G. Bloesch, God The Almighty: Power, Wisdom, Holiness,
Love (Downers Grove: InterVarsity Press, 1995), 184.
[10] Donald G. Bloesch, God The Almighty, 186. Bandingkan juga
penjelasan perichoresis dalam Peter
R. Holmes, Trinity in Human Community:
Exploring Congregational Life in The Image of the Social Trinity (Lynnwood
Avenue: Paternoster Press, 2006), 37-39.
[11] Jeremy S.
Begbie, “Created Beauty” dalam The Beauty
God: Theology and the Arts (Downers Grove, Illinois: IVP, 2007), 19.
[14] John W. De
Gruchy, Christianity, Art and
Transformation (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 111.
[20] William A.
Dyrness, Visual Faith: Art, Theology, and
Worship in Dialogue (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2001), 26.
[28] Hal ini
secara panjang lebar dijelaskan dalam Francis A. Schaefffer, Art and the Bible (Downers Grove,
Illinois: IVP, 1973), 20-30.
[29] Philip
Graham Ryken, Art for God’s Sake: A Call
to Recover the Art (New Jersey: P & R Publishing, 2006), 47.
[31] William
Edgar, “The Art and the Reformed Tradition” dalam Calvin and Culture: Exploring A Worldview (New Jersey: P & R
Publishing, 2010), 63.
No comments:
Post a Comment