Wednesday, March 21, 2007

Hubungan Bapa dan Anak Dalam Peristiwa Penyaliban

Pendahuluan
Kalau kita berbicara tentang Allah dalam konteks kekristenan, maka kita tidak akan terlepas dari masalah Tritunggal. Allah Tritunggal ini mempunyai asumsi teologis dengan titik tolak bahwa tiga pribadi atau person dalam satu keilahian. Ketiga person dari Allah Tritunggal ini adalah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.Allah yang kita kenal adalah Allah yang mewahyukan diri dan memiliki pekerjaan (karya) dalam tiga pribadi, yaitu: Allah Bapa adalah pencipta langit dan bumi, penguasa dan pemelihara, Allah di atas kita (transenden). Allah sebagai Anak adalah yang menebus kita, Allah yang menyatakan kasih dan pengorbanan, Allah yang untuk kita. Dan Allah Roh Kudus sebagai pembaru dan penyuci manusia, Dia adalah Allah di dalam kita.

Salah satu masalah mengenai Tritunggal ialah bagaimana hubungan antara Allah Bapa dengan Allah Anak (Yesus Kristus), khususnya dalam peristiwa penyaliban. Sejauh mana peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban dalam rangka penyelamatan manusia? Apakah Allah Bapa ikut menderita bersama Yesus Kristus dalam peristiwa penyaliban?

I. Hubungan Keilahian antara Bapa dan Anak
Bapa dan Anak dalam Allah Trituggal mempunyai hubungan keilahian dan keduanya sama-sama mempunyai sifat ilahi. Bapa adalah Allah dan mempunyai sifat keilahian, sebagaimana juga diungkapkan dalam Alkitab bahwa Bapa dikenal sebagai Allah (Yohanes 6:27; Roma 1:7; Galatia 1:1). Kristus sebagai Anak memiliki beberapa sifat yang secara khas dan jelas adalah: kekal, mahahadir, mahakuasa, mahatahu, mahakasih dan tidak berubah. Yesus juga disebut sebagai pencipta (Yoh. 1:3; Kol. 1:16; Ibr. 1:10) yang membuktikan bahwa Allah Tritunggal sama-sama terlibat dalam penciptaan. Dan masih banyak hal yang bisa membuktikan tentang keilahian Yesus, misalnya mengampuni dosa (Mat. 9:2; Luk. 7:47-48) dan sebagainya.

Hubungan antara Bapa dengan Anak disejajarkan antara satu sama lain dan antara Bapa dan Anak adalah satu. Yang dimaksud dengan satu di sini adalah satu substansi, bukan satu pribadi atau person. Di dalam Yoh. 14:9; 17:11, menunjukkan bahwa Yesus sebagai Anak dan Allah Bapa bertindak bersama-sama. Jadi kita harus memiliki pandangan ilahi yang sama terhadap Allah Bapa dan Allah Anak.[1]
Dengan demikian Bapa dan Anak adalah sama-sama mempunyai sifat ilahi dan satu substasi dengan person atau pribadi yang berbeda.

II. Pandangan-pandangan tentang hubungan Bapa dan Anak
Ada beberap pandangan tentang bagaimana hubungan antara Bapa dan Anak, termasuk dalam penderitaan Yesus Kristus atau peristiwa penyaliban, antara lain:[2]
1. Patripasianisme
Pandangan ini menyatakan bahwa Bapa dan Anak itu hanya nama belaka yang menunjukkan kepada satu-satunya pribadi, yaitu pribadi Allah. Jadi Bapa dan Anak bukan merupakan pribadi melainkan hanya nama saja. Pandangan ini juga mengatakan Bapalah yang menderita bersama dengan Kristus, sebab Bapa benar-benar hadir di dalam dan secara pribadi identik dengan Yesus (Anak).
2. Modalismus
Pandangan ini adalah pandangan seorang yang bernama Sabellius (+ 260). Ia mengatakan bahwa Allah tidak berpribadi. Akan tetapi sebagai pencipta atau pemberi hukum, Allah disebut Bapa; di antara inkarnasi dan esensi (hakikat) Ia disebut Anak, dan di antara esensi dan parousia Ia disebut Roh Kudus. Bapa, Anak dan Roh Kudus digambarkan dengan topeng, yang dapat diganti.
3. Sub-ordinasi
Ajaran ini mengakui adanya sub-ordinasi atau tingkatan antara ketiga pribadi. Jadi di sini diakui bahwa Allah Anak lebih rendah daripada Allah Bapa dan Allah Roh Kudus lebih rendah lagi.

Ketiga pandangan di atas tentunya tidak dapat diterima begitu saja, karena bukanlah Bapa yang menderita atau disalibkan tetapi Anak (Yesus). Memang benar bahwa Bapa ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh Anak dan menderita bersama, tetapi bukan Bapa yang disalibkan. Masing-masing pribadi Allah Tritunggal mempunyai tugas yang berbeda, walaupun pribadi yang satu terlibat dalam pekerjaan pribadi yang lain. Atau dengan kata lain pekerjaan yang berbeda tetapi tidak terpisah-pisah. Juga tidak bisa dikatakan bahwa antara ketiga pribadi Allah Tritunggal mempunyai tingkatan yang berbeda, karena ketiganya mempunyai substansi atau esensi yang merupakan kesatuan fundamental di dalam ke-Allahan.

Doktrin tentang Allah Tritunggal adalah bukan ada tiga Allah yang berbeda seperti pandangan triteisme. Maka ada dua hal untuk melindungi doktrin Allah Tritunggal dari pandangan triteisme, yaitu: Pertama, tindakan ketiga pribadi yang sama sekali tidak berbeda dalam ketiga pribadi tersebut adalah hanya satu hakekat yang identik, yang ditemukan di dalam tindakan penyataan ilahi. Penyataan berasal dari Bapa, diteruskan melalui Anak dan tidak merupakan tiga tindakan melainkan satu tindakan yang melibatkan ketiga pribadi tersebut. Kedua, ditegaskan bahwa hakekat ilahi itu konkret dan tidak dapat dibagi. Artinya ketiganya dapat dibedakan sebagai pribadi, namun tetap satu dalam substansi dan hakekat.[3]

III. Peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban
Untuk mengetahui bagaimana peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana peran atau hubungan Bapa dalam rencana keselamatan sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Rencana keselamatan atau perjanjian keselamatan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh ketiga pribadi Allah Tritunggal. Namun hubungan antara ketiga pribadi ini ialah Allah Bapa sebagai pengutus dan Anak sebagai yang diutus. Allah Bapa adalah sebagai perencana keselamatan dan Allah Anak adalah yang melakukan rencana keselamatan tersebut (Yoh. 3:16). Dalam melaksanakan karya penebusan dan rencana keselamatan Bapa ini, Anak melakukannya dalam inkarnasi, penderitaan dan kematian-Nya (dalam peristiwa penyaliban).[4]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagaimana Bapa adalah perencana dari keselamatan itu, maka dalam peristiwa penyaliban yang merupakan bagian dari keselamatan itu sendiri, Bapa juga mempunyai hubungan dan peranan di dalamnya. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pekerjaan masing-masing pribadi berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Demikian juga dengan penyaliban adalah jelas pekerjaan Anak, tetapi Bapa merasakan apa yang dialami oleh Anak. Jadi boleh dikatakan bahwa peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban Yesus Kristus adalah sebagai pengutus yang tentunya juga merasakan penderitaan tersebut. Bukanlah Bapa yang disalib dalam peristiwa penyaliban seperti pandangan patripasianisme (modalisme), walaupun sebenarnya ikut merasakan.

Berhubungan dengan Allah Tritunggal terhadap peristiwa penyaliban, Jungel dan Moltmann mengatakan bahwa penyaliban menggambarkan keilahian Bapa dan kematian Anak mengakibatkan bahwa dalam hubungan kemanusiaan ketritunggalan tergantung satu sama lain. Dan saling ketergantungan tersebut berakibat tidak hanya pada hubungan antara Anak dan Roh Kudus pada Bapa, tetapi juga Bapa pada Anak dan Roh Kudus.

Dari sini kita dapat melihat bagaimana hubungan antara Bapa dan Anak dalam peristiwa penyaliban. Saling ketergantungan menunjukkan bahwa Bapa dan Anak tidak dapat dipisahkan dalam peristiwa penyaliban. Bapa sebagai yang mengutus Anak untuk melaksanakan misi penyelamatan dengan menderita di kayu salib, juga ikut merasakan penderitaan tersebut.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagai person Allah Tritunggal, Bapa dan Anak mempunyai pekerjaan yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan dan saling terlibat dalam pekerjaan antara satu sama lain. Karena ketiga pribadi Allah Tritunggal adalah satu substansi dan sehakekat.
2. Dengan demikian, rencana penyelamatan bagi manusia adalah pekerjaan bersama ketiga pribadi, walaupun dilihat dari segi pekerjaan secara person, Bapa yang merencanakan dan mengutus Anak dan anak yang mekakukannya di atas kayu salib.
3. Dalam peristiwa penyaliban, peranan Bapa tidak membiarkan Anak tetapi ikut menderita bersama Anak sebagai bagian Tritunggal yang tidak dapat dipisahkan.

Melihat hubungan Bapa dan Anak dalam peristiwa penyaliban, sangat jelas betapa besarnya kasih Allah kepada manusia berdosa. Demi kasih-Nya kepada manusia berdosa, Bapa tidak hanya mengutus Anak-Nya untuk menderita di atas kayu salib, tetapi Bapa sendiri turut merasakan penderitaan tersebut. Kalau Allah mengasihi kita sedemikian rupa, sepatutnya kita juga semakin mengasihi Allah, sesama dan diri sendiri.

[1] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997) 147
[2] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 121-122
[3] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Vol. I (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1999) 437
[4] Louis Berchof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993) 167

1 comment:

Anonymous said...

Fed up with getting low amounts of useless traffic to your website? Well i want to let you know about a new underground tactic that makes myself $900 per day on 100% AUTOPILOT. I could be here all day and going into detail but why dont you simply check their website out? There is a excellent video that explains everything. So if your serious about making easy hard cash this is the website for you. http://www.autotraffic-avalanche.org

SIBUK BELUM TENTU BAIK, DIAM TAK SELALU BURUK

Nats:  Lukas 10:38-42 “Tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”  (...