Saturday, March 31, 2007

Tiada Jalan Ke Roma ...!!!

Wahyu 18

“Dan pedagang-pedagang di bumi menangis dan berkabung karena dia, sebab tidak ada orang lagi yang membeli barang-barang mereka” (Why. 18:11)

Banyak jalan menuju Roma. Siapa yang tidak tahu semboyan ini. Hampir semua orang tahu semboyan ini, banyak jalan menuju Roma. Semboyan ini menunjukkan kehebatan kota Roma yang merupakan pusat perdagangan bahkan mungkin pusat dunia pada masa kejayaannya. Hal ini membuat orang berbondong-bondong mengarahkan pandangan mereka ke Roma. Semua ingin ke Roma, jalan apa pun di tempuh asal sampai ke Roma. Banyak jalan menuju Roma, semua orang ingin dekat Roma. Namun sayang sekali ternyata dalam renungan hari ini kelihatannya tiada jalan lagi menuju Roma. Kok bisa?

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa kota Babel dalam kitab Wahyu ini adalah sebagai simbol dari kota Roma. Banyak orang melihat kota Roma sebagai sumber dan jaminan kelimpahan materi. Untuk itu banyak orang yang menaruh harapan dan hidupnya terhadap kota Roma. Namun ironisnya dalam pasal 18 ini kita melihat nasib kota Roma sangat mengenaskan. Ternyata kota mulia itu telah dijatuhkan. Bahkan yang lebih mengerikan dikatakan bahwa hukuman yang diberikan terhadap kota Roma adalah sebanyak kemewahan dan kenikmatan yang ia telah nikmati. Ini sungguh hukuman yang begitu dahsyat. Digambarkan bahwa orang tidak berani lagi mendekat dengan kota itu bahkan menjauh darinya. Tiada jalan lagi ke Roma sehingga orang tidak lagi ke sana. Tidak ada harapan dan kehidupan lagi di dalamnya. Para raja dan pedagang yang berzinah dengannya menangis mengiringi jatuhnya kota itu. Tidak ada kehidupan lagi. Tidak ada jaminan kelimpahan materi lagi. Tidak ada jalan lagi ke Roma.

Dalam ay. 4 ada satu peringatan bagi umat Allah sebelum kota itu dijatuhkan yaitu, supaya keluar dari Babel (Roma). Peringatan ini yang perlu kita renungkan. Mungkinkah kita masih berada di kota Roma dan jangan-jangan kita belum keluar dari dalamnya. Aplikasinya buat kita adalah kita jangan sampai terlena dan ikut arus glamornya zaman ini. Ingat bahwa glamornya zaman ini tidak jauh berbeda dengan Babel (Roma). Untuk itu kita jangan sampai merasa nyaman di dalamnya sehingga tidak mau keluar dan bahkan mengikutinya. Jikalau kita masih di Babel (Roma), cepat-cepat keluar dari dalamnya sebelum Tuhan menghancurkannya dan ikut terseret di dalamnya. Tiada jalan ke Roma, semua orang menjauh dan meninggalkannya. Untuk itu jangan betah di dalamnya. Masih ada yang mau ke Roma ...???

Ketika tidak ada jalan ke Roma, Tuhan masih menyediakan jalan ke Sorga.

Friday, March 30, 2007

Hati-hati Dengan Glamor

Wahyu 17

“Dan perempuan itu memakai kain ungu dan kain kirmizi yang dihiasi dengan emas, permata dan mutiara, dan di tangannya ada suatu cawan emas penuh dengan segala kekejian dan kenajisan percabulannya.” (Why. 17:4)

Ada satu slogan yang menjadi filosofi hidup zaman ini, ”yang penting happy”. Ini bukan saja sekedar slogan tetapi ini sudah menjadi gaya hidup zaman ini. Zaman ini manusia lebih menyukai kekayaan, kesenangan, kehidupan yang hingar-bingar, yang penting sesuatu yang membuat happy. Filosofi hidup yang seperti ini membuat glamornya zaman ini menjadi godaan besar bagi manusia. Tidak sedikit orang yang rela melakukan apa saja dan bahkan yang rela menyerahkan hidupnya untuk menikmati glamornya zaman ini. Namun ini menjadi tanda awas bagi kita, hati-hati dengan glamornya zaman ini karena kenikmatannya hanyalah kenikmatan sesaat belaka.

Dalam perikop ini kita melihat kehidupan glamor kota Babel yang merupakan simbol kota Roma saat itu yang begitu menggoda. Di situ juga kita melihat pelacur besar yang merupakan simbol godaan sensualitas dan kenyamanan materi. Godaan itu digambarkan dengan pakaian dan perhiasan-perhiasan yang indah dan mewah yang dipakai oleh perempuan tersebut. Ini adalah tawaran setan dan dunia yang sangat menggiurkan hati setiap orang. Banyak orang yang tertipu dengan kehidupan glamor yang ia tawarkan dan mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan yang ada di dalamnya hanya sementara, karena cepat atau lambat Babel dan pelacur besar itu beserta orang-orang yang menikmatinya akan dihakimi dan dijatuhkan oleh Allah. Untuk itu hati-hati dengan glamornya zaman ini.

Kalau bencana alam adalah sesuatu yang tidak jauh dari hidup kita, glamornya dunia ini lebih dekat lagi dalam hidup kita bahkan sudah di depan mata kita. Seks bebas, nikmatnya narkoba, menghalkan segala cara untuk memperoleh materi dan kenyamanannya sangat-sangat dekat dengan kita. Ini merupakan godaan besar zaman ini, bahkan bagi orang Kristen. Begitu banyak orang, termasuk orang Kristen yang memilih ”yang penting happy” menjadi gaya hidupnya. Mereka berkata, seks bebas oke asal happy, narkoba oke asalah happy, bisnis kotor oke asal happy, korupsi oke asal happy. Kehidupan glamor yang ditawakan oleh zaman ini memang begitu menggoda, sehingga kita bisa terseret di dalamnya. Untuk itu hati-hati, jangan sampai tergoda dan mengikutinya demi kenikmatan sesaat. Cepat atau lambat, bila saatnya tiba, dia akan lenyap bersama orang yang terseret di dalamnya. Menghindarlah darinya dan hiduplah semakin dekat dengan Tuhan.

Lebih baik hidup sederhana penuh kedamaian daripada hidup glamor penuh bahaya.

Wednesday, March 28, 2007

Mungkin Tuhan Mulai Bosan ...?

Wahyu 16

“Dan aku mendengar suara yang nyaring dari dalam Bait Suci berkata kepada ketujuh malaikat itu: ’Pergilah dan tumpahkanlah ketujuh cawan murka Allah itu ke atas bumi.’” (Why. 16:1)

”Mungkin Tuhan mulai bosan” adalah sepenggal lirik lagu Ebit G. Ade, ”Berita Kepada Kawan” yang seringkali dilantungkan ketika terjadi bencana. Dalam lagu ini Ebit mencoba mencari jawaban mengapa terjadi bencana dan malapetaka. Dia memberitahu sekalian bertanya kepada ombak, karang dan matahari, namun sayang semuanya membisu. Karena semua membisu lalu Ebit menyimpulkan, ”mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.” Kelihatannya dalam Why. 16 ini, Tuhan tidak hanya ”bosan” tetapi sangat murka.

Dalam perikop yang kita baca hari ini, kita melihat ketujuh cawan yang merupakan tujuh malapetaka terhadap manusia. Kalau di dalam ketujuh meterai dan ketujuh sangkakala ada bencana-bencana yang akan terjadi di bumi, tetapi dalam ketujuh cawan ini kelihatannya melapetaka yang akan terjadi akan semakin hebat. Bencana-bencana yang akan terjadi adalah seperti bisul yang jahat dan berbahaya yang akan menimpa semua orang yang memakai tanda binatang itu, air menjadi darah, penghangusan oleh panas api yang dahsyat, bahkan sampai pada puncaknya bencana itu akan semakin menghebat. Ini menunjukkan bahwa kelihatannya menjelang datangnya Yesus intensitas bencana yang pernah terjadi dalam sejarah akan lebih hebat. Akan terjadi yang lebih buruk. Itu adalah akibat manusia tetap mengeraskan hati dan tidak mau bertobat. Malapetaka yang terjadi baik dalam ketujuh meterai, ketujuh sangkakala, maupun dalam ketujuh cawan ini sebenarnya bertujuan supaya manusia bertobat, tetapi mereka tetap tidak bertobat, sehingga malapetaka yang akan mereka terima pun akan semakin dahsyat.

Bencana alam, tsunami, gempa, gunung berapi, penyesatan, bukanlah sesuatu yang jauh dari hidup kita saat ini. Dia begitu dekat bahkan seperti sudah menjadi sahabat kita. Mari kita merenungkan, mengoreksi diri dan bertanya jangan-jangan ini tanda murka Allah kepada manusia dan dunia ini yang terus menerus bersahabat dengan dosa. Jangan bertanya pada rumput yang bergoyang seperti kata Ebit, karena tidak akan menemukan jawabannya, tetapi tanya pada diri sendiri, sudahkan kita berkenanan kepada-Nya atau sebaliknya membuat Dia murka. Jikalau hidup kita masih membuat Allah murka, hanya satu nasehat buat kita, bertobatlah dan berjaga-jagalah sampai tiba waktunya!

Bertobatlah sebelum yang lebih buruk menimpa kita!

Tuesday, March 27, 2007

Awal Dari Akhir

Wahyu 15

“Dan aku melihat suatu tanda lain di langit, besar dan ajaib: tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir, karena dengan itu berakhirlah murka Allah.” (Why. 15:)

Segala sesuatu ada awalnya. Kalau ada akhir berarti ada awal. Kita sering mendengar atau menyaksikan satu happy ending dari cerita, film, sinetron, atau sejenisnya. Kalau ada happy ending (akhir yang bahagia), berati ada awal dari bahagia dan umumnya awalnya adalah sesuatu yang buruk atau penderitaan. Demikian juga dengan yang akan kita renungkan dalam perikop ini, yaitu sebelum berakhir murka Allah – yang juga merupakan happy ending bagi orang-orang percaya yang telah setia dalam penderitaan – ada sesuatu yang akan terjadi yang merupakan awalnya. Apakah awal dari berakhirnya murka Allah tersebut?

Dalam ay. 1 dikatakan, “Dan aku melihat suatu tanda lain di langit, besar dan ajaib: tujuh malaikat dengan tujuh malapetaka terakhir, karena dengan itu berakhirlah murka Allah.” Rupa-rupanya sebelum Allah mengakhiri murka-Nya atau sebelum orang-orang yang telah ditebusnya mengalami happy ending, akan diawali dengan berbagai malapetaka yang disebut dengan tujuh malapetaka terakhir. Apakah ketujuh malapetaka terakhir tersebut? Itu akan dijelaskan dengan rinci dalam pasal 16, tetapi yang jelas di sini ialah bahwa kita akan mendapatkan happy ending itu dengan diawali tujuh malapetaka terakhir. Hal ini mengingatkan kita pada pembebasan bangsa Israel dari Mesir, di mana sebelum mereka dibebaskan diawali dengan sepuluh tulah atau malapetaka. Dengan mengikuti pola seperti ini, boleh dikatakan bahwa ketujuh malapetaka terakhir ini mendahului atau mengawali kelepasan atau kebebasan terakhir dari umat Allah. Sebelum umat Allah bersukacita dan bernyanyi karena kemenangan terakhir mereka seperti yang terjadi dalam ay. 3-4, terlebih dahulu akan terjadi malapetaka yang mungkin imbasnya bisa saja dialami oleh umat Allah.

Walaupun kita belum melihat seperti apakah ketujuh malapetaka yang akan terjadi itu di pasal 16, namun kita bisa membayangkan bahwa sepertinya hal itu sudah mulai terjadi. Kenapa tidak, lihat saja alam sudah semakin rusak bahkan sepertinya mengamuk tanda tidak bersahabat lagi dengan kita. Hidup semakin sulit, bahkan penderitaan semakin nyata dan seolah semakin mendekat dalam kehidupan kita. Tetapi ingat, jangan panik atau putus asa, tetapi teruslah berharap karena itu memang harus terjadi sebagai awal dari akhir, yaitu kebahagiaan yang akan kita terima.

Kadang-kadang malapetaka mangingatkan kita bahwa kita sedang mengawali kebahagiaan.

Saturday, March 24, 2007

Ini Baru Sempurna!

“Dan aku melihat: sesungguhnya, Anak Domba berdiri di bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya.” (Why. 14:1)

Kita kembali lagi pada ungkapan, no body perfect (tidak ada orang yang sempurna). Ungkapan ini benar adanya, karena di bawah kolong langit ini tidak ada seorang pun yang sempurna. Bahkan termasuk kuasa iblis yang nyaris sempurna, tetap tidaklah sempurna. Namun, tidak ada orang yang sempurna bukan berarti tidak ada yang sempurna karena ternyata masih ada satu dan hanya satu yang sempurna, yaitu Allah dan karya-Nya. Mungkin saat ini banyak orang yang terperdaya melihat kuasa iblis yang nyaris sempurna, tetapi ingat, cepat atau lambat mereka akan menyadari dan berkata, ”Oo... ini baru sempurna!”. Apakah yang dilakukan oleh Yang Sempurna itu?

Di pasal sebelumnya kita melihat bahwa kuasa iblis nyaris sempurna, tetapi tetap tidak dapat menyamai kesempurnaan Allah. Akan tiba waktunya dia akan dikalahkan oleh yang sempurna. Sedangkan di pasal 14 ini kita melihat bahwa apa yang dilakukan Allah kepada umat-Nya benar-benar sempurna. Kesempurnaan itu tampak dalam penebusan-Nya terhadap umat-Nya. Dikatakan bahwa Anak Domba berdiri di bukit Sion bersam 144.000 orang yang telah Ia tebus dari bumi. Berdiri di bukit Sion melambangkan bahwa Dia yang berkuasa dan bertakhta sebagai Raja dan Tuhan yang tidak ada taranya. 144.000 orang yang Ia tebus menggambarkan kegenapan, kelengkapan, kesempurnaan jumlah umat-Nya yang telah Ia tebus. Kemudian di dahi ke-144.000 orang ini, tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya. Ini menunjukkan jaminan yang sempurna dari penebusan yang Ia berikan, tidak mungkin hilang, dirampas atau dibinasakan oleh kuasa lain. Sungguh sempurna, bahkan yang nyaris sempurna yang ditunjukkan iblis menyedihkan secara sempurna oleh karena kesempurnaan-Nya.

Adakah yang meragukan Allah dan penebusan yang Ia berikan? Kalau ada, satu kata untuk Saudara, bertobatlah! Kita tidak selayaknya meragukan penebusan Allah bagi kita karena yang menebus kita adalah Allah yang berkuasa menebus kita dengan sempurna dan penebusan yang kita terima termeterai oleh nama-Nya sendiri. Kalau ada keraguan ada dua kemungkinan, pertama, kita terkecoh dengan yang nyaris sempurna. Kedua, tidak sungguh-sungguh mengikut Kristus ke mana saja Ia pergi. Jika hal ini terjadi, sekali lagi satu kata untuk Saudara, bertobatlah! Jangan sampai sudah terlambat, Saudara baru sadar dan berkata, ”Ooo... ini baru sempurna!”

Penebusan yang sempurna hanya dapat dilakukan oleh Yang Sempurna.

Thursday, March 22, 2007

666: Nyaris Sempurna

Wahyu 13

“Yang penting di sini ialah hikmat: barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya ialah enam ratus enam puluh enam.” (Why. 13:18)

“Nyaris sempurna …” Mungkin ini adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kedahsyatan kuasa iblis. Iblis seringkali memakai cara-cara yang dahsyat untuk mengelabui dan menyesatkan manusia. Bahkan tidak jarang dia membuat mujizat-mujizat yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Allah sehingga kita bisa terkecoh dan mengikutinya. Lebih menyedihkan lagi adalah ada yang dengan sengaja mengikutinya karena mereka berpikir kuasanya begitu hebat, bahkan melebihi Allah. Namun melalui renungan hari ini kita akan melihat bahwa kuasa iblis memang nyaris sempurna, tetapi tidak sempurna.

Setelah naga (iblis) dalam Wahyu 12 marah karena tidak berhasil memburu perempuan itu, maka dalam pasal 13 ini sepertinya dia mengutus semacam agennya, yaitu binatang yang keluar dari laut dan binatang yang keluar dari bumi. Kedua binatang ini melakukan penyesatan terhadap manusia dengan melakukan hal-hal yang luar biasa. Orang-orang yang menyaksikan apa yang mereka lakukan bahkan menyembah si naga itu sambil berkomentar, “Siapakah yang sama seperti binatang ini? Dan siapakah yang dapat berperang melawan dia?” (ay. 4). Bahkan binatang yang keluar dari dalam bumi itu menyesatkan manusia dengan tanda-tanda dahsyat yang ia lakukan. Dan kepada para pengikutnya dia memberi tanda 666 pada tangan kanan atau pada dahi mereka. Kenapa 666? Inilah yang tidak disadari oleh para pengikutnya. Angka ini terkait dengan angka 7 yang melambangkan kesempurnaan. Jadi 666 melambangkan bahwa kekuatan iblis itu nyaris sempurna, nyaris 7 tetapi ingat, masih kurang atau tidak sempurna dan suatu saat akan dikalahkan oleh yang sempurna, yaitu Allah. Kekuatan iblis, yang seolah-olah sempurna tidak akan menyamai kesempurnaan Allah.

Di zaman ini ada begitu banyak hal-hal ajaib yang kelihatannya dari Allah, tetapi sebenarnya dari iblis. Kita hampir tidak dapat membedakannya. Maka tidak heran kalau kita sering terkecoh bahkan mungkin kita sempat mengaguminya. Bahkan lebih parah lagi banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan mengatakan, daripada mununggu Allah bertindak, terlalu lama menunggu, lebih baik memilih yang ini, langsung melihat mujizat dan persoalan kita selesai. Untuk itu mari kita waspada, karena walaupun kuasa iblis itu nyaris sempurna, tetapi tepat pada waktunya yang sempurna akan datang sehingga yang nyaris sempurna itu tidak akan berdaya lagi. Waspadalah, waspadalah!

Jika yang sempurna datang maka tidak ada artinya memiliki yang nyaris sempurna.

Wednesday, March 21, 2007

Hubungan Bapa dan Anak Dalam Peristiwa Penyaliban

Pendahuluan
Kalau kita berbicara tentang Allah dalam konteks kekristenan, maka kita tidak akan terlepas dari masalah Tritunggal. Allah Tritunggal ini mempunyai asumsi teologis dengan titik tolak bahwa tiga pribadi atau person dalam satu keilahian. Ketiga person dari Allah Tritunggal ini adalah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus.Allah yang kita kenal adalah Allah yang mewahyukan diri dan memiliki pekerjaan (karya) dalam tiga pribadi, yaitu: Allah Bapa adalah pencipta langit dan bumi, penguasa dan pemelihara, Allah di atas kita (transenden). Allah sebagai Anak adalah yang menebus kita, Allah yang menyatakan kasih dan pengorbanan, Allah yang untuk kita. Dan Allah Roh Kudus sebagai pembaru dan penyuci manusia, Dia adalah Allah di dalam kita.

Salah satu masalah mengenai Tritunggal ialah bagaimana hubungan antara Allah Bapa dengan Allah Anak (Yesus Kristus), khususnya dalam peristiwa penyaliban. Sejauh mana peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban dalam rangka penyelamatan manusia? Apakah Allah Bapa ikut menderita bersama Yesus Kristus dalam peristiwa penyaliban?

I. Hubungan Keilahian antara Bapa dan Anak
Bapa dan Anak dalam Allah Trituggal mempunyai hubungan keilahian dan keduanya sama-sama mempunyai sifat ilahi. Bapa adalah Allah dan mempunyai sifat keilahian, sebagaimana juga diungkapkan dalam Alkitab bahwa Bapa dikenal sebagai Allah (Yohanes 6:27; Roma 1:7; Galatia 1:1). Kristus sebagai Anak memiliki beberapa sifat yang secara khas dan jelas adalah: kekal, mahahadir, mahakuasa, mahatahu, mahakasih dan tidak berubah. Yesus juga disebut sebagai pencipta (Yoh. 1:3; Kol. 1:16; Ibr. 1:10) yang membuktikan bahwa Allah Tritunggal sama-sama terlibat dalam penciptaan. Dan masih banyak hal yang bisa membuktikan tentang keilahian Yesus, misalnya mengampuni dosa (Mat. 9:2; Luk. 7:47-48) dan sebagainya.

Hubungan antara Bapa dengan Anak disejajarkan antara satu sama lain dan antara Bapa dan Anak adalah satu. Yang dimaksud dengan satu di sini adalah satu substansi, bukan satu pribadi atau person. Di dalam Yoh. 14:9; 17:11, menunjukkan bahwa Yesus sebagai Anak dan Allah Bapa bertindak bersama-sama. Jadi kita harus memiliki pandangan ilahi yang sama terhadap Allah Bapa dan Allah Anak.[1]
Dengan demikian Bapa dan Anak adalah sama-sama mempunyai sifat ilahi dan satu substasi dengan person atau pribadi yang berbeda.

II. Pandangan-pandangan tentang hubungan Bapa dan Anak
Ada beberap pandangan tentang bagaimana hubungan antara Bapa dan Anak, termasuk dalam penderitaan Yesus Kristus atau peristiwa penyaliban, antara lain:[2]
1. Patripasianisme
Pandangan ini menyatakan bahwa Bapa dan Anak itu hanya nama belaka yang menunjukkan kepada satu-satunya pribadi, yaitu pribadi Allah. Jadi Bapa dan Anak bukan merupakan pribadi melainkan hanya nama saja. Pandangan ini juga mengatakan Bapalah yang menderita bersama dengan Kristus, sebab Bapa benar-benar hadir di dalam dan secara pribadi identik dengan Yesus (Anak).
2. Modalismus
Pandangan ini adalah pandangan seorang yang bernama Sabellius (+ 260). Ia mengatakan bahwa Allah tidak berpribadi. Akan tetapi sebagai pencipta atau pemberi hukum, Allah disebut Bapa; di antara inkarnasi dan esensi (hakikat) Ia disebut Anak, dan di antara esensi dan parousia Ia disebut Roh Kudus. Bapa, Anak dan Roh Kudus digambarkan dengan topeng, yang dapat diganti.
3. Sub-ordinasi
Ajaran ini mengakui adanya sub-ordinasi atau tingkatan antara ketiga pribadi. Jadi di sini diakui bahwa Allah Anak lebih rendah daripada Allah Bapa dan Allah Roh Kudus lebih rendah lagi.

Ketiga pandangan di atas tentunya tidak dapat diterima begitu saja, karena bukanlah Bapa yang menderita atau disalibkan tetapi Anak (Yesus). Memang benar bahwa Bapa ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh Anak dan menderita bersama, tetapi bukan Bapa yang disalibkan. Masing-masing pribadi Allah Tritunggal mempunyai tugas yang berbeda, walaupun pribadi yang satu terlibat dalam pekerjaan pribadi yang lain. Atau dengan kata lain pekerjaan yang berbeda tetapi tidak terpisah-pisah. Juga tidak bisa dikatakan bahwa antara ketiga pribadi Allah Tritunggal mempunyai tingkatan yang berbeda, karena ketiganya mempunyai substansi atau esensi yang merupakan kesatuan fundamental di dalam ke-Allahan.

Doktrin tentang Allah Tritunggal adalah bukan ada tiga Allah yang berbeda seperti pandangan triteisme. Maka ada dua hal untuk melindungi doktrin Allah Tritunggal dari pandangan triteisme, yaitu: Pertama, tindakan ketiga pribadi yang sama sekali tidak berbeda dalam ketiga pribadi tersebut adalah hanya satu hakekat yang identik, yang ditemukan di dalam tindakan penyataan ilahi. Penyataan berasal dari Bapa, diteruskan melalui Anak dan tidak merupakan tiga tindakan melainkan satu tindakan yang melibatkan ketiga pribadi tersebut. Kedua, ditegaskan bahwa hakekat ilahi itu konkret dan tidak dapat dibagi. Artinya ketiganya dapat dibedakan sebagai pribadi, namun tetap satu dalam substansi dan hakekat.[3]

III. Peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban
Untuk mengetahui bagaimana peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana peran atau hubungan Bapa dalam rencana keselamatan sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Rencana keselamatan atau perjanjian keselamatan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh ketiga pribadi Allah Tritunggal. Namun hubungan antara ketiga pribadi ini ialah Allah Bapa sebagai pengutus dan Anak sebagai yang diutus. Allah Bapa adalah sebagai perencana keselamatan dan Allah Anak adalah yang melakukan rencana keselamatan tersebut (Yoh. 3:16). Dalam melaksanakan karya penebusan dan rencana keselamatan Bapa ini, Anak melakukannya dalam inkarnasi, penderitaan dan kematian-Nya (dalam peristiwa penyaliban).[4]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagaimana Bapa adalah perencana dari keselamatan itu, maka dalam peristiwa penyaliban yang merupakan bagian dari keselamatan itu sendiri, Bapa juga mempunyai hubungan dan peranan di dalamnya. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pekerjaan masing-masing pribadi berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Demikian juga dengan penyaliban adalah jelas pekerjaan Anak, tetapi Bapa merasakan apa yang dialami oleh Anak. Jadi boleh dikatakan bahwa peranan Bapa dalam peristiwa penyaliban Yesus Kristus adalah sebagai pengutus yang tentunya juga merasakan penderitaan tersebut. Bukanlah Bapa yang disalib dalam peristiwa penyaliban seperti pandangan patripasianisme (modalisme), walaupun sebenarnya ikut merasakan.

Berhubungan dengan Allah Tritunggal terhadap peristiwa penyaliban, Jungel dan Moltmann mengatakan bahwa penyaliban menggambarkan keilahian Bapa dan kematian Anak mengakibatkan bahwa dalam hubungan kemanusiaan ketritunggalan tergantung satu sama lain. Dan saling ketergantungan tersebut berakibat tidak hanya pada hubungan antara Anak dan Roh Kudus pada Bapa, tetapi juga Bapa pada Anak dan Roh Kudus.

Dari sini kita dapat melihat bagaimana hubungan antara Bapa dan Anak dalam peristiwa penyaliban. Saling ketergantungan menunjukkan bahwa Bapa dan Anak tidak dapat dipisahkan dalam peristiwa penyaliban. Bapa sebagai yang mengutus Anak untuk melaksanakan misi penyelamatan dengan menderita di kayu salib, juga ikut merasakan penderitaan tersebut.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagai person Allah Tritunggal, Bapa dan Anak mempunyai pekerjaan yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan dan saling terlibat dalam pekerjaan antara satu sama lain. Karena ketiga pribadi Allah Tritunggal adalah satu substansi dan sehakekat.
2. Dengan demikian, rencana penyelamatan bagi manusia adalah pekerjaan bersama ketiga pribadi, walaupun dilihat dari segi pekerjaan secara person, Bapa yang merencanakan dan mengutus Anak dan anak yang mekakukannya di atas kayu salib.
3. Dalam peristiwa penyaliban, peranan Bapa tidak membiarkan Anak tetapi ikut menderita bersama Anak sebagai bagian Tritunggal yang tidak dapat dipisahkan.

Melihat hubungan Bapa dan Anak dalam peristiwa penyaliban, sangat jelas betapa besarnya kasih Allah kepada manusia berdosa. Demi kasih-Nya kepada manusia berdosa, Bapa tidak hanya mengutus Anak-Nya untuk menderita di atas kayu salib, tetapi Bapa sendiri turut merasakan penderitaan tersebut. Kalau Allah mengasihi kita sedemikian rupa, sepatutnya kita juga semakin mengasihi Allah, sesama dan diri sendiri.

[1] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1997) 147
[2] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 121-122
[3] Millard J. Erickson, Teologi Kristen Vol. I (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1999) 437
[4] Louis Berchof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993) 167

SIBUK BELUM TENTU BAIK, DIAM TAK SELALU BURUK

Nats:  Lukas 10:38-42 “Tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”  (...