Saturday, December 23, 2006

Kesaksian Kristen di Tengah Krisis

Wahyu 11:1-14

“Dan Aku akan memberi tugas kepada dua saksi-Ku, supaya mereka bernubuat sambil berkabung, seribu dua ratus enam puluh hari lamanya.” (Why. 11:3)

Ketika situasi lancar, tidak ada masalah, penderitaan, dan krisis, mungkin setiap kita dengan mudah akan memberi kesaksian yang baik dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Dalam situasi yang baik dan tanpa tantangan, kita dengan mudah mempertahankan iman kita. Tetapi bagaimana kalau dalam keadaan krisis? Bagaimana kalau hidup penuh tantangan, penderitaan – bahkan mungkin pederitaan yang diakibatkan karena kita orang Kristen? Apakah kita masih tetap setia, bersaksi tentang iman kita, atau malah sebaliknya kita tidak setia dengan iman kita oleh karena beratnya penderitaan yang kita alami.

Perikop ini menceritakan bahwa ada dua saksi yang diutus oleh Tuhan Yesus untuk bernubuat – memberi kesaksian tentang-Nya. Tetapi mereka diutus bukan dalam situasi yang baik dan aman, tetapi dalam situasi krisis di mana dipenuhi oleh musush-musuh yang ingin memerangi mereka. Dalam perikop ini digambarkan bahwa si setan yang digambarkan dengan binatang yang keluar dari jurang maut memerangi mereka. Dan kelihatannya ada perlawanan antara kedua saksi ini dengan kuasa maut itu. Dalam situasi seperti inilah kesaksian mereka diuji. Ternnyata di tengah-tengah situasi krisis ini mereka setia pada kesaksian mereka, bahkan setia sampai mati. Dikatakan bahwa mereka berhasil menjalankan dan menyelesaikan kesaksian mereka dan di akhir kesaksian mereka, sang binatang yang keluar dari jurang maut itu mengalahkan dan membunuh mereka. Sampai peristiwa ini sepertinya mereka kalah dan binatang itu menang. Orang-orang bergembira, bersukacita dan berpesta melihat kekalahan mereka. Tetapi itu bukanlah akhir. Yang menjadi akhirnya adalah mereka dibenarkan, dibangkitkan dan diangkat ke langit (bisa menggambarkan sorga) dengan disaksikan oleh musuh-musuh mereka.

Waktu kita membaca atau mendengarkan kisah ini kita terpana dan terkagum-kagum. Namun acapkali ini hanya menjadi cerita usang, legenda yang tidak pernah menjadi teladan dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Ingat, kesaksian kita dan kesetiaan kita akan teruji ketika kita menghadapi situasi krisis. Mampukah kita mempertahankan kesaksian kita sebagai orang Kristen di tengah-tengah krisis zaman ini? Di tengah-tengah persaingan hidup yang begitu ketat, di tengah persaingan bisnis yang kotor, di tengah situasi yang kacau-balau dan tidak menentu ini? Adakah ketika Tuhan datang, Dia menemukan kita sebagai saksi-Nya yang setia atau saksi yang mengkhianati Dia?

Penderitaan karena kesaksian kita, tidak lebih besar dengan pembenaran kita kelak.

Friday, December 22, 2006

Firman Tuhan, Pahit Ternyata

Wahyu 10

“Lalu aku mengambil kitab itu dari tangan malaikat itu, dan memakannya: di dalam mulutku ia terasa manis seperti madu, tetapi sesudah aku memakannya, perutku menjadi pahit rasanya.” (Why. 10:10)

Kita biasa melukiskan atau menggambarkan firman Tuhan sebagai sesuatu yang indah. Bukankah seringkali kita berkata, wah, firman-Mu indah sekali, sungguh ajaib, menakjubkan, memberi kekuatan, penghiburan, dan berbagai istilah lain untuk melukiskan betapa indahnya firman Tuhan. Ini tidak salah, benar sekali. Bukankah banyak catatan Alkitab yang menunjukkan bahwa firman Tuhan itu sangat indah. Firman-Mu pelita bagi kakiku, terang bagi jalanku, firman-Mu memberi sukacita, dan masih banyak lagi gambaran Alkitab tentang keindahan firman Tuhan. Namun ada sisi lain dari firman Tuhan jika kita sungguh-sungguh mencerna dan melakukannya. Jika firman Tuhan sungguh-sungguh kita cerna dan lakukan mungkin kita akan berkata, wah, ternyata susah, menyakitkan, terlalu berat, terlalu tajam. Firman-Mu, pahit ternyata.

Ada dua tokoh dalam Alkitab yang pernah memakan gulungan kitab, yaitu Yehezkiel dan Yohanes dalam perikop ini. Tentunya memakan gulungan kitab di sini hanya merupakan simbol, yaitu membaca, mencerna secara rohani dan menjadikan firman Tuhan itu sebagai bagian dari hidupnya. Yang menarik di sini adalah bahwa ketika Yohanes memakan kitab itu, di mulutnya terasa manis tetapi perutnya menjadi pahit rasanya (ay. 10). Apa yang mau disampaikan di sini? Kenapa kitab itu terasa manis di mulutnya, tetapi terasa pahit di perutnya? Ini menunjukkan bahwa firman Allah memberikan sukacita waktu menerimanya, tetapi firman itu sendiri mengandung penghakiman dan kritik tentang hidup manusia yang terasa amat pedih. Artinya, bahwa firman Tuhan itu mengandung teguran, nasehat, bahkan kritikan dalam hidup kita dan kalau kita benar-benar mau melakukannya mungkin akan terasa sakit, berat, bahkan pahit. Bahkan ketika Yohanes memberitakan firman itu juga terasa pahit karena ia harus memberitakan tentang penghakiman Allah.

Apakah Saudara sedang merasa bahwa firman Tuhan terasa berat dan sulit untuk dilakuakn? Jika ya, berarti Saudara sedang berada dalam keadaan benar dan masih peka terhadap firman-Nya. Namun pilihan ada di tangan Saudara. Mau memilih untuk tetap melakuakn firmannya, walaupun Saudara tahu akan sakit, sulit, berat, dan pahit. Atau Saudara tetap hanya menjadikannya sebagai penghibur dan pemuas telinga. Hanya mau bagian yang enak saja, tetapi menghindari bagian yang pahitnya. Pilihan di tangan Saudara!

Kita tidak akan melakukan firman Tuhan seutuhnya tanpa merasakan bagian pahitnya.

Thursday, December 21, 2006

Jangan Bermain Dengan Maut!

Wahyu 9:1-12

“ Dan kepada mereka dipesankan, supaya mereka jangan merusakkan rumput-rumput di bumi atau tumbuh-tumbuhan ataupun pohon-pohon, melainkan hanya manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahinya.” (Why. 9:4)

Jangan bermain dengan maut! Jangan bermain dengan kejahatan! Adalah nesehat klasik yang sudah sering kita dengar, bahkan sejak kecil. Nasehat klasik tetapi sangat logis dan realistis, karena tanpa diundang saja maut datang menghampiri kita, apalagi kalau bermain dengannya. Firman Tuhan yang kita baca hari ini mengungkapkan bagaimana ”nasib” orang-orang yang berani bermain dengan maut, atau bahkan yang menjadi pengikutnya.

Sangkakala kelima (9:1-13) ini, secara ringkas kelihatannya menggambarkan kekuatan si setan yang menyiksa dan menghancurkan pengikutnya sendiri. Si setan yang digambarkan sebagai malaikat jurang maut tampaknya memiliki kuasa yang sangat hebat yang digambarkan seperti kuasa kalajengking di bumi. Kuasa si setan yang sangat besar ini kemungkin adalah yang membuat orang-orang terpesona dengannya sehingga mau menjadi pengikutnya bahkan bermain dengannya. Tetapi tanpa mereka sadari bahwa kekuatan yang sama itu pula justru dipakai oleh si setan untuk menghancurkan mereka yang mengikuti dia. ”Senjata makan tuan” atau ”pagar makan tanaman”. Mungkin ini peribahasa yang dapat menggambarkan perlakuan si setan kepada para pengikutnya. Yang pada mulanya dianggap kekuatannnya atau pelindungnya, justru menjadi penghancur diri mereka sendiri. Namun satu hal yang menarik di sini bahwa kekuatan besar yang dimiliki oleh si setan itu tidak mampu menghancurkan mereka yang telah dimeteraikan (ditebus) oleh Allah (9:4). Ternyata kehebatan yang dimiliki oleh malaikat jurang maut itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan meterai yang diberikan Allah kepada para pengikut-Nya.

Hari ini mungkin Saudara sedang terpesona dengan dahsyatnya kekuatan si setan dan berkata, wah ... luar biasa, ajaib, menakjubkan ...! Ini solusi hidupku, ini yang kucari selama ini. Tidak perlu susah payah, tidak perlu menunggu seperti menunggu jawaban doa dari Tuhan. Hebat, hebat ...! Tetapi tunggu dulu! Pikirkan lagi sebelum memutuskan untuk mengikutinya. Sesaat mungkin nikamt, hebat, wah dan wah sehingga Saudara terpesona, tetapi firman Tuhan hari ini mengungkapkan fakta yang tidak akan pernah diberitahu oleh si setan itu ketika Saudara mengikutinya, yaitu kekuatan yang sama akan dipakainya untuk menghancurkan Saudara. Masih berani bermain dengan maut???

Bermain dengan maut ibarat mengantarkan nyawa ke jurang maut.

Wednesday, December 20, 2006

Terpesona ...!

Wahyu 8:1-5

“Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketujuh, maka sunyi senyaplah di sorga, kira-kira setengah jam lamanya.” (Why. 8:1)

”Terdiam, hanya bisa diam; dingin menyerang di sekujur tubuhku; layangkan mata menembus cahaya ... masih jelas telihat pesona ayumu ... inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan ...” Ini adalah penggalan syair lagu ”Surga Cinta” dari kelompok musik ”Ada Band”. Lagu ini menceritakan seorang laki-laki yang terdiam, hanya bisa diam, terpesona ketika melihat dan jatuh cinta pada seorang gadis cantik. Terdiam dan hanya bisa diam memang adalah salah satu cara untuk mengekspresikan kekaguman terhadap seseorang atau sesuatu. Hal yang sama juga terjadi di sorga ketika meterai ketujuh dibuka oleh Anak Domba, sorga menjadi sunyi senyap. Kenapa sunyi senyap? Kenapa semuanya terdiam dan hanya bisa diam?

Dalam Wayhu 6 kita sudah melihat bahwa pembukaan meterai dari gulungan kitab oleh Anak Domba menunjukkan pelaksanaan rencana Allah, yang menggambarkan apa yang terjadi dalam sejarah yang akan mencapai puncaknya pada akhir zaman. Dalam enam meterai pertama kita melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sepanjang sejarah yang semuanya ada di bawah rencana Allah. Kemudian dalam pasal 8 ini, ketika meterai ketujuh dibukakan ada satu perubahan suasana di sorga, yaitu sorga sunyi senyap selama kira-kira setengah jam. Apa yang terjadi, kenapa sunyi senyap? Ke mana para malaikat di sorga sehingga sorga menjadi sepi? Atau mungkinkah mereka tertidur? Tidak! Mereka tidak pergi ke mana-mana, mereka juga tidak tertidur. Mereka ada di situ menyaksikan Anak Domba membuka meterai ketujuh itu. Namun mereka semua terdiam, hanya bisa diam, tidak ada yang berani berbicara bahkan berbisik, karena terpesona di hadirat Allah melihat renca-Nya yang agung dan sempurna. Seisi sorga kagum dan terpesona melihat rencana Allah yang tidak terpikirkan oleh mereka.

Biasanya ada dua sikap yang sering kita tunjukkan ketika berhadapan dengan masalah. Pertama, kita terus bicara, berteriak, ngoceh terus kepada Tuhan sehingga tidak bisa melihat rencana-Nya yang agung. Kedua, kita diam karena marah dan putus asa di hadapan Tuhan sehingga kita juga tidak bisa melihat rencana-Nya yang Agung. Tetapi firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk diam di hadapan Allah dan mendengarkan Allah berbicara, maka kita akan terpesona pada apa yang Ia recanakan untuk kita.

Jalani dan hadapilah masalah hidupmu bersama dengan Allah, maka kamu akan terpesona melihat rencana-Nya yang agung dan sempurna.

Tuesday, December 19, 2006

Pelayanan Yang Sempurna

Wahyu 7:9-17

“Karena itu mereka berdiri di hadapan takhta Allah dan melayani Dia siang malam di Bait Suci-Nya. Dan Ia yang duduk di atas takhta itu akan membentangkan kemah-Nya di atas mereka.” (Why. 7:15)

Mendengar frase ”pelayanan yang sempurna” mungkin agak janggal dan ”aneh” buat kita yang masih menginjak bumi ini. Karena bagaimana mungkin ada pelayanan yang sempurna sementara hukum alam mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, termasuk pelayanan. Benar bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, tetapi acapkali hal ini menjadi pembenaran diri atas kekurangan kita. Tuhan tahu bahwa tidak ada pelayanan yang sempurna, tetapi orang Kristen sejati adalah orang yang mau mengejar pelayanan yang sempurna.

Orang-orang yang melayani Tuhan dalam perikop ini merupakan gambaran sempurna (ideal) dari pelayanan kita sebagai orang Kristen. Walaupun gambaran sempurna ini terjadi di sorga, namun prinsipnya harus menjadi prinsip pelayanan kita saat ini. pertama, pelayanan kita kepada Allah adalah pelayanan penuh waktu. Yang dilakukan oleh orang-orang kudus dalam perikop ini adalah melayani dan beribadah kepada Allah siang dan malam, tidak ada hentinya, tidak putus-putusnya. Artinya, aktivitas apa pun yang kita lakukan, prestasi kita, pekerjaan kita adalah bagian dari pengabdian kita kepada Allah. Kedua, pelayanan yang didasarkan atas respons syukur. Mereka yang melayani Allah bukan terpaksa, tetapi karena kerelaan mereka dan karena syukur mereka atas keselamatan yang telah mereka terima oleh darah Anak Domba (7:13, 14). Ketiga, rela berkorban untuk Allah. Mereka adalah orang-orang percaya yang mempunyai jiwa pelayanan sebagai martir, mereka yang betul-betul rela berkorban untuk Allah di dalam kesusahan apa pun (7:13, 14).

Sudahkah pelayanan Saudara sempurna di hadapan Tuhan? Ah, susah, mana mungkin, terlalu teoritis, tidak realistis. Jawaban klasik, namun fatalis. Fatalis karena jawaban ini adalah jawaban putus asa, tidak mau berjuang tetapi menyerah pada ”nasib”. Pelayanan yang sempurna memang sulit dicapai dan tidak mungkin terjadi dalam semalam. Untuk mencapai pelayanan yang sempurna butuh proses yang panjang dan yang dituntut dari kita adalah kesetiaan menjalani proses itu. Untuk itu mari kita belajar supaya pelayanan kita tidak terhenti sampai di gereja, tetapi dalam setiap aspek hidup kita. Belajar melayani tanpa sungut-sungut, tetapi dengan penuh syukur. Belajar juga memberi pengorbanan dalam melayani Tuhan. Semua ini adalah proses dan kita dipanggil untuk setia menjalani proses ini. Selamat melayani!

Tidak ada pelayanan yang sempurna kalau tidak mulai menjalaninya.

Monday, December 18, 2006

Ya, Tapi Tunggu!

Wahyu 6

“Dan kepada mereka masing-masing diberikan sehelai jubah putih, dan kepada mereka dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka.”(Why. 6:11)

Ya, segera, saat ini, sekarang, dan di sini! Jangan tunda, jangan besok, minggu depan, bulan depan, apalagi tahun depan! Saya mau hari ini saja, menit ini, bahkan detik ini! Inilah keinginan dan hal yang kita sukai ketika berseru kepada Tuhan, apalagi kalau seruan itu adalah seruan untuk keluar dari masalah. Kalau boleh, begitu berkata amin, saya langsung melihat jawaban dari Allah, masalah saya langsung beres. Namun cara kerja Allah tidak dapat kita prediksi atau ramalkan. Ketika Allah berkata ya, tidak selalu berarti saat ini, di sini. Acapkali Tuhan menjawab ya, tapi tunggu dulu, sebentar lagi, bersabar dulu.

Dalam pasal 6 ini Sang Anak Domba membuka keenam meterai pertama. Pembukaan meterai ini menunjukkan pelaksanaan rencana Allah, yang menggambarkan apa yang terjadi dalam sejarah yang akan mencapai puncaknya pada akhir zaman. Empat meterai pertama adalah empat kuda yang berbeda warna dan melambangkan bencana-bencana yang terjadi dalam sejarah. Bencana-bencana itu adalah peristiwa yang terjadi dalam sejarah sampai akhir zaman. Meterai kelima adalah tentang orang-orang kudus yang mati syahid karena iman mereka, sedangkan meterai keenam adalah tentang penghakiman terakhir. Dalam meterai kelima dikatakan bahwa orang-orang yang mati syahid itu berseru kepada Allah untuk mengakhiri penderitaan mereka dan menghakimi orang-orang yang membuat mereka menderita. Tetapi Tuhan menyuruh mereka untuk menunggu sedikit waktu lagi. Tuhan menjawab seruan mereka; mereka akan mendapatkan keadilan dari Allah, tetapi mereka harus bersabar sampai waktu yang telah ditetapkan Allah. Tuhan meminta mereka menunggu, bersabar dalam penderitaan mereka, karena Tuhan sudah merancangkan sesuatu yang melebihi penderitaan mereka sesuai dengan waktu-Nya.

Apakah Saudara sedang dalam pergumulan, kesulitan atau penderitaan? Saudara sudah berdoa, bahkan berteriak kepada Tuhan, tetapi sepertinya Tuhan tidak menjawab. Tuhan kenapa diam? Tuhan kenapa tidak berkarya? Mungkin Saudara berkata demikian. Tapi tunggu dulu. Tuhan mungkin sudah menjawab ya, tetapi dia meminta Saudara menunggu dan bersabar sebentar. Untuk itu jangan menyerah atau pasrah pada pergumulan, kesulitan dan penderitaan, tunggu tanggal mainnya!

Pertolongan Tuhan pasti; tetapi waktunya kapan, hanya Tuhan yang tahu.

Saturday, December 16, 2006

Tuhan Punya Rencana

Wahyu 5

“Lalu berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: ’Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya.’” (Why. 5:5)

Waktu kita mengalami yang baik dan menyenangkan, dengan mudah kita akan berkata Tuhan punya rencana dalam hidupku. Hidupku kini ada dalam rencana Tuhan. Buktinya hidupku berjalan lancar, tanpa masalah, semua hal yang kualami menjadi baik dan menyenangkan. Tetapi kalau kita diperhadapkan dengan masalah dan situasi sulit, masihkah kita berkata Tuhan punya rencana dalam hidupku. Bukankah yang seringkali kita ucapkan ketika mengalami masalah dan kesulitan hidup, di mana Tuhan? Di mana rencana-Mu yang baik dalam hidupku?

Situasi seperti inilah yang dihadapi oleh jemaat-jemaat yang menerima kitab Wahyu ini. Dalam situasi sulit yang mereka hadapi seolah-olah Tuhan tidak berkarya dan rencana Tuhan tidak ada lagi dalam hidup mereka. Mata rohani mereka menjadi buta dan tidak dapat melihat rencana Allah dalam kesulitan yang mereka hadapi. Untuk itu penglihatan Yohanes di pasal 5 ini, membukakan mata mereka. Yohanes melihat di tangan kanan Dia yang duduk di atas takhta itu, ada sebuah gulungan kitab yang dimeteraikan dengan tujuh meterai dan tidak ada seorang pun yang dianggap layak membuka gulungan kitab itu selain Yesus Kristus, Anak Domba, singa dari Yehuda, yaitu tunas Daud. Gulungan kitab itu melambangkan rencana Allah bagi dunia dan arah dari dunia ini. Gulungan kitab itu dikatakan ditulis sebelah dalam sebelah luar, menunjukkan satu rencana yang lengkap. Semua detil rencana Allah lengkap di sana. Dialah yang tahu dan berhak mau dibawa ke mana sejarah ini. Dengan kata lain, dibukanya gulungan ini mengindikasikan penggenapan dari hal-hal yang Allah sudah rencanakan yang memang menjadi tujuan-Nya. Jadi tidak benar bahwa Allah tidak punya rencana dalam situasi sulit yang mereka hadapi.

Natur manusia kita memang selalu mengidentikkan rencana Allah dengan semua hal baik, menyenangkan dan tanpa kesulitan. Sehingga ketika menghadapi kesulitan kita menuduh Allah tidak berencana atas hidup kita. Tetapi menilai rencana Allah dengan cara seperti ini, sebenarnya kita sedang mengecilkan dan membatasi kuasa Allah hanya dalam situasi baik. Untuk itu waktu Saudara mengalami kesulitan hidup, ingatlah bahwa itu bagian dari rencana Allah dalam hidupmu, karena Tuhan punya rencana baik dalam suka maupun duka!

Sebesar apa pun kesulitan yang kita hadapi, tidak ada artinya dibandingkan dengan rencana Allah yang sempurna.

Wednesday, December 13, 2006

Ibadah Sorgawi

Wahyu 4

“Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Why. 4:11)

Seperti apakah atau bagaimanakan ibadah yang berkenan di hadapan Allah? Atau sudahkan kita benar-benar melakukan ibadah yang berkenan kepada Allah? Oh, sudah! Setiap hari Minggu saya tidak absen beribadah di gereja. Saya juga bernyanyi dengan semangat di dalam ibadah yang dilakukan di gereja. Saya sudah melakukan ibadah yang berkenan kepada Tuhan. Namun, benarkah demikian? Sungguhkan ibadah yang berkenan kepada Tuhan itu adalah tidak absen ke gereja dan semangat menyanyi di dalam ibadah setiap hari Minggu?

Perikop yang kita baca hari ini berbicara tentang model ibadah yang sempurna (ibadah sorgawi). Penglihatan ini adalah untuk memberi kekuatan kepada penerima surat ini yang mulai bertanya, di mana Tuhan atau apakah Tuhan masih berkuasa di tengah-tengah situasi krisis yang mereka alami. Untuk itu dalam perikop ini berulangkali disebutkan tentang takhta dan Seorang yang duduk di atasnya. Ini hendak menunjukkan bahwa Allah masih berkuasa, bertakhta dan bekerja. Dia juga masih tetap Allah yang disembah. Dari penyembahan yang terjadi dalam penglihatan ini, ada beberapa prinsip ibadah sorgawi (ibadah yang berkenan di hadapan Tuhan). Pertama, ibadah yang dilakukan setiap saat. Keempat makhluk dalam ay. 8 dengan tidak henti-hentinya, siang dan malam beribadah kepada Tuhan. Ibadah yang berkenan adalah ibadah yang dilakukan bukan hanya di gereja, tetapi ibadah yang berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Pagi, siang, malam, setiap detik adalah ibadah dihadapan Tuhan. Kedua, ibadah yang berfokus pada Tuhan. Ibadah yang berkenan tidak berfokus untuk mencari kesenangan kita, memuaskan diri, tetapi memuaskan dan memuliakan Allah. Bahkan setiap kali kedua puluh empat tua-tua itu menyembah Dia, mereka menanggalkan mahkota mereka (ay. 9-11), tanda bahwa mereka tidak layak dan yang menjadi fokus penyembahan mereka adalah bukan kebanggaan mahkota mereka tetapi kemuliaan Allah saja.

Sudahkah hidup kita menjadi bagian ibadah kita dengan Allah. Waktu kita sedang bekerja, sekolah, bermain, atau apa pun yang kita lakukan, adakah Tuhan di dalamnya. Atau Tuhan hanya ada ketika kita di gereja, tetapi di luar gereja kita berkata, ah, ini hidupku, Tuhan tidak perlu campur tangan. Jika kita mengaku bahwa Tuhan yang berkuasa dan bertakhta atas hidup kita, seharusnya hidup kita, di mana pun dan kapan pun mencerminkan ibadah kita di hadapan Tuhan. Sudahkah ibadah kita berkenan di hadapan Tuhan.

Ibadah yang berkenan di hadapan Tuhan adalah ibadah yang dihidupi.

Tuesday, December 12, 2006

Hidup, Padahal Mati!

Wahyu 3:1-6

“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” (Why. 3:1)

Dari ketujuh jemaat yang menerima firman Tuhan melalui Yohanes, ada dua jemaat yang sama sekali tidak mendapat pujian dari Tuhan Yesus, yaitu jemaat Sardis dan Laodikia. Kelihatannya mereka telah jatuh terlalu dalam, sehingga Tuhan Yesus sangat mengecam mereka. Walaupun beberapa jemaat yang lain juga dicela oleh Tuhan Yesus, namun masih ada beberapa pujian yang diberikan kepada mereka. Sementara kedua jemaat ini hanya mendapatkan celaan tanpa pujian. Khususnya jemaat Sardis Tuhan memberi predikat kepada mereka, ”engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” Apa sebenarnya kesalahan mereka sehingga mereka dikatakan hidup, padahal mati.

Seperti kita ketahui bahwa selain penderitaan dan pengajaran palsu, salah satu situasi yang dihadapi oleh ketujuh jemaat ini adalah adanya orang-orang yang mencari kenyamanan dan kepuasan hidup karena materi. Pada waktu itu setiap orang yang bekerja atau berusaha harus menjadi anggota ”serikat kerja” kalau mau usahanya maju. Ternyata dalam ”serikat kerja” ini memiliki tata cara dan pertemuan sendiri, yang biasanya ada upacara penyembahan dewa dan tindakan amoralitas. Maka waktu itu ada pengajaran palsu yang mengajak untuk kompromi dengan penyembahan berhala dan tindakan amoralitas, supaya tidak menderita secara ekonomi atau materi. Jemaat Sardis kelihatannya benar-benar sudah kompromi dengan dosa, demi mendapatkan kenyamanan dan kepuasan hidup karena materi. Bahkan dalam ay. 4 dikatakan bahwa hanya ”beberapa orang” yang tidak mencemarkan pakainnya (yang tidak kompromi dengan dosa). Kelihatanya mereka masih hidup, bahkan memiliki kenyamanan hidup, tetapi sesungguhnya mereka telah mati secara rohani. Mereka hidup, padahal mati!

Kondisi jemaat Sardis ini sangat relevan dengan kita juga, karena hal yang sangat perpeluang menggantikan posisi Tuhan dalam hidup kita adalah materi. Mungkin kita tidak secara langsung kompromi dengan dosa di dalam usaha kita. Namun bukankah usaha kita dalam mencari materi melebihi usaha kita dalam mencari Tuhan. Bahkan tidak jarang kita berkata, saya belum ada waktu melayani karena terlalu sibuk dengan usaha saya. Biarkan saya mengejar kesuksesan selagi saya masih muda, pelayanan nanti saja. Ingat, jangan sampai Tuhan menyebut kita, ”hidup, padahal mati!”

Mencari materi dapat membuat hidup menjadi mati, tetapi mecari Tuhan bikin hidup lebih hidup!

Thursday, December 7, 2006

Cinta Pertama

Wahyu 2:1-7

“Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.” (Why. 2:4)

Barangkali setiap kita pernah mengalami ”cinta pertama”. Bagaimanakah rasanya ketika Saudara pertama kali jatuh cinta pada seseorang? Pasti cintanya menggebu-gebu, penuh dengan antusias, ada semangat yang membara dan rasanya ingin setiap saat ketemu. Mungkin kita mengorbankan waktu, tenaga dan apa yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan cinta ketika pertama kali jatuh cinta pada seseorang. Namun acapkali cinta pertama yang membara itu menjadi semakin pudar seiring berjalannya waktu. Demikian juga cinta kita kepada Tuhan. Seringkali cinta yang membara ketika pertama kali bertemu dengan Tuhan menjadi pudar seiring berjalannya waktu. Kondisi seperti inilah yang dialami jemaat Efesus.
Jemaat Efesus sebenarnya bukanlah jemaat yang tidak berpotensi. Hal ini terlihat melalui beberapa pujian yang diberikan Tuhan Yesus kepada mereka dalam 2:2-3. Tuhan Yesus mengatakan, ”Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu ...” (2:2). Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rajin melayani dan memiliki ketekunan. Mereka juga adalah jemaat yang memiliki pemahaman yang kuat tentang kebenaran firman Tuhan. Hal ini terbukti ketika mereka dapat mengenali orang-orang yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya adalah para pendusta. Mereka juga dipuji karena mereka mengambil bagian dalam penderitaan karena mengikut Tuhan. Namun semua yang mereka lakukan seolah-olah menjadi sesuatu yang sia-sia ketika dalam 2:4 Tuhan Yesus mengatakan, ”Namun demikian Aku mencela engkau ...” Ternyata mereka melakukan semua itu tanpa kasih yang semula, cinta pertama yang selalu membara dan antusias di hadapan Tuhan. Ternyata pelayanan yang mereka lakukan, pemahaman yang mereka miliki dan kesediaan mereka menderita tidak didasarkan karena kasih, cinta mereka kepada Kristus.
Mari kita mendeteksi diri kita masing-masing. Mungkin saat ini kita rajin melayani, memiliki pemahaman iman yang cukup, atau bahkan bersedia menderita demi Kristus. Namun yang perlu kita pertanyakan adalah adakah semua itu kita lakukan disertai dengan kasih yang semula, cinta pertama ketika pertama kali bertemu dengan Tuhan dan menikmati anugerah-Nya. Sebab tanpa kasih yang berkobar-kobar kepada Tuhan, semua yang kita lakukan adalah sia-sia. Tuhan menuntut kasih yang semula, cinta pertama tetap berkobar, sebab kita bisa melayani, memahami firman Tuhan dan bersedia menderita tanpa kasih, tetapi kalau kita memiliki kasih, pelayanan, pemahaman dan kesediaan menderita akan mengikutinya.
Kasih yang semula akan menutupi pelayanan yang tidak sempurna.

Wednesday, December 6, 2006

Kitab Yang Sulit ...?

Wahyu 1

“Inilah wahyu Yesus Kristus, yang dikaruniakan Allah kepada-Nya, supaya ditunjukkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi ...” (Why. 1:1)

Saya percaya kebanyakan kita sudah menonton film “The Chronicles of Narnia” yang diangkat dari novel yang ditulis oleh C.S. Lewis. Dalam film atau novel itu, kita melihat ketiga anak yang menembus lemari itu, sangat kaget ketika menemukan satu dunia asing yang sama sekali berbeda dengan dunia nyata. Hal yang sama juga kita alami ketika membaca kitab Wahyu sepertinya kita memasuki dunia lain yang penuh dengan simbol-simbol, angka-angka, dan gambaran-gambaran yang menurut kita “aneh-aneh”. Maka tidaklah heran jika kita menyebut kitab Wahyu sebagai kitab yang sulit. Memang dari semua kitab dalam Alkitab, tampaknya tidak ada satu pun yang lebih membingungkan daripada kitab Wahyu. Hal ini membuat kita tidak berani, enggan, bahkan malas membaca dan merenungkan kitab Wahyu.

Kitab ini diawali dengan frase “Inilah wahyu Yesus Kristus”. Kata “wahyu” dalam bahasa aslinya memiliki arti “penyingkapan”. Artinya, kitab ini menyingkapkan, bukan menyembunyikan sehingga dapat dimengerti oleh pembacanya. Tetapi kenyataannya kitab ini tidak semudah istilah “wahyu” itu sendiri, karena kebenaran di dalam kitab ini disingkapkan dalam bentuk simbol-simbol, angka-angka, dan gambaran-gambaran yang hanya dapat dimengerti langsung oleh orang-orang pada zaman ketika kitab ini ditulis. Lalu bagaimana reaksi kita? Menjauhkan kitab ini dan tidak membacanya sama sekali? Atau bahkan memuseumkannya? Tidak! Kitab ini adalah firman Tuhan, jangan dijauhkan atau dimuseumkan, tetapi mari kita dekati.

Untuk memahami kitab ini, kita harus melakukan 3B. 1) Baca. Dalam ay. 3 dikatakan ”Berbahagialah ia yang membacakan ... nubuat ini ...” Menolak kitab Wahyu, berarti menolak firman Tuhan. Maka orang yang membaca kitab ini disebut berbahagia. 2), Berdoa. Selain membaca, kita juga harus berdoa minta pimpinan Roh Kudus untuk menyingkapkan firman-Nya. Yohanes melihat penglihatan itu, ketika ia dipenuhi Roh Kudus (ay. 10). 3), Belajar. Untuk mengerti kitab Wahyu dibutuhkan kerendahan hati untuk mau belajar. Waktu kita belajar, Roh Kudus bekerja. Puncak dari semuanya adalah bagaimana kita menerapkan apa yang telah kita pahami dalam firman Tuhan. Ayat 3 ditutup dengan, ”... dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat.” Kitab Wahyu sulit ...? Tidak juga, kalau kita mau melakukan 3B, baca, berdoa dan belajar!

Kalau Roh Kudus bekerja, yang tersembunyi pun disingkapkan.

SIBUK BELUM TENTU BAIK, DIAM TAK SELALU BURUK

Nats:  Lukas 10:38-42 “Tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”  (...